Kamis, 15 Oktober 2015

Sungguh, Kau Tidak Pernah Tahu dengan Siapa Kau Akan Dipertemukan

(Sumber: https://tripuspitarini.files.wordpress.com/2012/01/kenalan.jpg)

Kita tak pernah tahu dengan siapa kita akan bertemu. Dan kita pun tak pernah tahu dalam keadaan seperti apa kita dipertemukan. Satu yang kupercayai, Tuhan telah menakdirkannya. Dia ingin makhluk-Nya memetik pelajaran hidup dari setiap pertemuan yang terjadi. Berawal dari sebuah pertemuan, aku rasanya harus untuk bertemu dengan lebih banyak orang lagi. Agar perspektifku tak sempit, agar aku dapat terus belajar, agar hasrat dalam batin terobati. Sebab, setiap pertemuan pasti meninggalkan kesan dan pesannya untuk kita telaah.

Sebelumnya, aku ingin meminta maaf pada Bapak dan Mamakku. Aku telah sengaja meninggalkan satu tanggungjawabku (red: bolos kuliah). Maafkan anakmu. Namun tenanglah, meskipun tak mengikuti kuliah di ruang kuliah, aku mendapatkan kuliah kehidupan yang amat berharga. Tak bisa diukur dengan SKS mata kuliah yang kutinggalkan tadi. Sebuah pengalaman langka dalam hidupku.

Sekali lagi, kita tak pernah tahu dengan siapa kita akan dipertemukan. Ini berawal dari chatting dengan seseorang yang telah kuanggap sebagai kakak sekaligus sahabatku (Kak Riri). Ya, mungkin memang sudah ditakdirkan Tuhan bahwa aku akan diminta menemaninya wawancara untuk sebuah program lomba jurnalistik. Yang membuatku sangat excited adalah sudut pandang yang ingin ditulis Kak Riri dan narasumbernya. Seorang ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan ia menikah dengan perempuan normal yang sehat dari virus itu hingga saat ini. In this case, i dunno the diferrence of “Love is Blind” or “The Power of Love”.

Hari ini (8/10), sekitar pukul 12.30 kami berangkat dengan sepeda motor ke Sekretariat Balla’ta. Sebuah rumah singgah bagi pecandu narkoba, yang kini ditempati mengabdi oleh sosok Kakak dengan inisial FS, narasumber kami. Sesampainya disana, kami pun mengetuk pintu dan mengatakan ada janji bertemu dengan Kak FS. Tak lama, orang yang ingin kami temui pun muncul dan mempersilakan masuk ke  kantornya itu. Sungguh, tak nampak sedikit pun bahwa dia sakit karena ada HIV dalam tubuhnya. Dia terlihat sehat dan bugar seperti orang biasanya. Rasanya hampir tak percaya.

Sebelum di wawancarai, pria berumur 30 tahun ini terlebih dahulu menguji pengetahuan kami terkait HIV/AIDS. Wah! saya beruntung dapat tambahan ilmu lagi melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Kak FS. Aku mengakui,  pengetahuanku terkait isu ini masih sangat kurang. But it’s my lucky time, Kak FS bukanlah orang yang pelit berbagi informasi. Ia cerita banyak sekali, mulai dari penyebab HIV/AIDS dan perkenalannya dengan obat terlarang, perbedaan HIV dengan AIDS, cara pencegahannya, diskriminasi dan stigma negatif yang diterima pengidap, serta pengalaman pribadinya sebagai pengidap yang sepanjang hidupnya nanti harus minum ARV (Anti Retroval) untuk bertahan hidup (usaha di luar kuasa Tuhan) hingga penawar HIV ditemukan.  Aku kagum luar biasa mendengarkan perjuangan hidup yang diceritakannya dengan pikiran terbuka.

Kembali ke maksud kami untuk menggali informasi terkait cerita cintanya dengan sang istri. Namun, sebelum itu ia ingin buat kesepakatan dengan Kak Riri, diantaranya: menggunakan inisial nama saja saat menulis kisahnya nanti dan tidak mempublikasikannya. Itu semua dilakukannya untuk menjaga privasi istrinya. Bukan tanpa alasan, keluarga sang istri hingga saat ini tak tahu kalau Kak FS positif (istilah untuk ODHA).  Sebuah rahasia yang harus dijaganya, entah sampai kapan.

Ketika anda menjadi seorang wanita, apakah anda bersedia menjadi seorang istri ODHA?. Pertanyaan yang berat untuk dijawab oleh wanita biasa, menurutku. Saya sendiri jika ditanya demikian, pasti akan berpikir seribu kali bahkan mungkin lebih dari itu, untuk menyatakan kesediaan. Namun beda dengan R, perempuan nomor dua terhebat dalam hidup FS setelah ibunya. Seorang yang telah menerimanya secara apa adanya. Menurutku, inilah takdir Tuhan yang tak dapat dielakkan. Sebuah cerita hidup dari-Nya yang tidak dapat dirubah oleh manusia.

Lanjut saja, Kak FS kemudian menceritakan awal pertemuannya dengan mantan pacarnya (red: istrinya)itu. Tahun 2009, inilah awal ia bertemu dengan R di sebuah toko perabotan rumah tangga, tempat mereka sama-sama bekerja.  Sering jumpa di kala istirahat makan siang menguatkan ketertarikan (cie elah chemistry) antara keduannya. Dan ujung-ujungnya, akhirnya mereka pacaran. Tahun 2010, setelah sekitar enam bulan menjalin hubungan itu, FS pun tak kuat jika harus menyembunyikan statusnya dari R. Saat itu, ia pun sekaligus berniat untuk menguji cinta gadis pujaannya.

Ia akhirnya memberanikan diri. Ditelponnya lah sang gadis pujaan. Dalam percakapan itu, lelaki berkumis tipis ini mulai menjelaskan bahwa dulu ia seorang pengguna narkoba. Dibumbui kepura-puraan, FS mengatakan akhir-akhir ini banyak teman-teman sepenggunanya meninggal, disebabkan sakit yang diduganya HIV. Ia pun menyampaikan niatnya untuk memeriksakan diri (padahal sejak 2007 ia sudah tahu mengidap HIV, hehe dan yang ini hanya periksa jumlah sel darah putih atau CD4). Sang istri kala itu langsung terdiam. “Bagaimana kalau saya positif? Apa tanggapanmu kepadaku?,” tanya FS. Sungguh seperti disayat hati ini mendengarnya. Namun, apa yang terjadi selanjutnya?. “Untuk responku terhadap hubungan ini selanjutnya, itu urusan nanti. Apa pun hasilnya, beritahu aku,” tegas si R. Sebuah jawaban yang diluar dugaanku.

Keesokan harinya, Kak FS menelpon kembali pujaan hatinya. Ia menyampaikan bahwa hasil tesnya positif. Seketika itu, belahan jiwanya ini diam dan menutup telepon. Tiga hari setelah pengakuan itu, tak ada sedikitpun kabar dari sang gadis. FS sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Walaupun kenyataannya pahit, setidaknya ia telah jujur. Ia yakin jika memang Tuhan menghendaki gadis itu bersanding dengannya, maka ia akan kembali padanya dan mencintainya sebagaimana adanya.

Tuhan dengan semua sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Nya punya cara tersendiri menyatukan makhluk-Nya. Pada hari ke-empat setelah pengakuan itu, R menyuruhnya untuk datang menemuinya. Kak FS pun datang ke rumahnya. Seketika itu, ia dipeluk oleh gadisnya. “Aku akan berusaha disisimu. Kalau pun kamu positif, sudah jalanku seperti ini untuk bersamamu. Tuhan sudah atur semuanya,” ujar sang gadis. Sejak saat itu, Kak FS yakin R adalah perempuan yang memang layak untuk ia perjuangkan.

Hubungan mereka pun terus berlanjut, dengan berbagai rasa kehidupan dan berbagi pengetahuan tentang HIV/AIDS. Namun tak ada hubungan yang kuat jika tak pernah putus. Mereka sempat kandas di tahun 2011, karena ada orang ketiga (mantan pacar R yang kembali). Tapi, walaupun gadis pujaan kembali dengan mantannya, ia tak putus asa dan tetap berjuang mendapatkan hati dewinya. Tentunya dengan bersaing secara sehat.

Betul saja, R kembali lagi padanya setelah melihat perjuangannya. Kemana pun raga melangkah, jika hati telah terpaut, maka yang pergi sementara pasti akan kembali lagi. Hubungan kembali membaik. Akhirnya di bulan Mei 2014, mereka melangsungkan pernikahan dengan berbagai konsekuensinya. Termasuk sulitnya mendapatkan buah hati, karena ia hanya bisa berhubungan aman tanpa pengaman jika jumlah CD4 nya diatas 500. Sebuah dilema yang ia hadapi ketika sang istri tercinta ingin segera menggendong momongan. Bahkan istrinya pernah bilang kalau memang untuk mendapatkan keturunan ia harus ditakdirkan Tuhan untuk menjadi positif, ia rela.

Pada November tahun lalu, ia telah mencoba sekali saat kondisi tubuhnya benar-benar baik. Namun Tuhan belum menghendaki mereka dikaruniai keturunan. Ia masih akan terus berusaha, agar seperti teman sesama ODHA-nya, yang telah dikaruniai dua anak yang sehat.

Tahukah kawan, aku telah penasaran melihat dan bertemu langsung dengan ODHA, sejak duduk mengikuti sosialisai Narkoba dan HIV/AIDS di waktu SMA (tahun 2010). Dalam bayanganku sudah tercetak gambaran bahwa tubuh mereka kurus, kerempeng, dan sakit-sakitan. Dan yang lebih jahat adalah stigma negatif yang sempat muncul di pikiranku waktu itu. Bahwa pengidapnya pasti pelaku amoral. Sunggguh jahatnya pikiranku. Namun pertemuan ini telah memberikanku banyak pelajaran hidup. Bahwa aku harus memandang apa yang ada di kehidupan ini melalui banyak perspektif, dan sedikit mungkin menghindari judge kepada orang lain. Bahwa aku harus bisa mematahkan stigma negatif yang selama ini tumbuh subur dalam alam pikiranku. Bahwa aku harus lebih menjaga kesehatanku. Bahwa aku harus lebih semangat dari mereka, dan bahwa mereka butuh dukungan dari kita.
Terima kasih untuk kuliah kehidupan yang berharga ini Kak FS. Semoga segera mendapatkan sang buah hati dambaan jiwa dan keluarga.

Sungguh, kau tidak pernah tahu dengan siapa kau akan dipertemukan....

Kamar Ramsis, 8 Oktober 2015



RIYAMI

Minggu, 27 September 2015

Sampah Pikiran

Untuk kawanku, dimanapun kalian berpijak hari ini. Andai saja jika ungkapan perasaan ini dapat menuai sebuah balas.

Kawan, pernahkah kalian merasakan seperti apa yang kurasakan?. Apa yang akan kalian lakukan saat mengalami sebuah kekosongan?. Kali ini sangat terasa sekali, rasa sakit itu. Meninggalkan selalu berpasangan dengan ditinggalkan. Begitu pula dengan perjumpaan yang selalu bergandengan dengan perpisahan. Itulah konsekuensi dari kausalitas, semua saling mempengaruhi. Sungguh memilukan. Keduanya bisa menimbulkan luka.

Aku tertegun, kembali mengingat-ingat sampah pikiran yang pernah muncul di kepalaku. Masih kuingat, aku pernah berpikir bagaimana rasanya meninggalkan dan ditinggalkan. Makin sering kupikirkan, hal itu akhirnya terjadi padaku. Dulu di masa SMA, aku selalu berpikir bagaimana rasanya jika sekolah dan hidup jauh dari orang tua. Dan hal ini terjadi, aku kuliah jauh dari bapak dan ibuku.

Setelah beberapa waktu aku kadang lupa ada mereka yang menantiku pulang. Yah, ini karena kami jarang berkomunikasi. Maklum saja, kami keluarga yang sangat hemat mengeluarkan uang untuk beli pulsa. Rupiah hanya cukup buat makan. Namun, ada satu masa sangat merindukan mereka, apa yang sedang mereka lakukan, sedang makan apa mereka, dan apakah mereka baik-baik saja?.

Khawatir, tentu pernah datang. Sebulan lalu, mereka mengabari bahwa mereka makan sagu atau pun ubi sebagai pengganti beras mereka yang habis. Di sini kadang aku makan enak dan lupa untuk bersyukur. Untuk itulah semenjak mendengar hal itu, aku selalu berusaha untuk menghabiskan makananku. Satu yang tertanam di benakku, jangan meninggalkan (membuang) makanan. Sebab jika engkau lakukan itu, entah kapan akan terjadi suatu saat dimana kau ditinggalkan oleh makanan. Hal ini sudah pernah kurasakan, kawanku.

Kembali ke pemikiran meninggalkan dan ditinggalkan, beberapa waktu lalu aku juga pernah memikirkan bagaimana rasanya jika teman kamar asrama sudah pindah. Dan malam ini, kutemukan jawabannya. Aku mengalami sebuah kekosongan, kehampaan. Kamar yang dulunya terasa sempit, kini lebih lapang. Barang-barang yang dulu ada di tempatnya, sekarang sudah lenyap dibawa pergi si empunya. Tak ada lagi teman bicara. Sunyi dan menyedihkan, ketika kenangan saat tinggal bersama menyeruak keluar dari memori pada saat yang bersamaan. Hanya bisa menitikkan air mata, untuk meluapkan emosi agar tak terbendung dan semakin menyakiti perasaan.

Kawan, aku tak ingin terus-terusan terjebak dalam sampah pikiran-pikiran macam ini. Sungguh, aku takut menjadi vektor atau pun terjangkit penyakit akibatnya. Memikirkannya saja sudah membuatku miris. Aku terlalu banyak membayangkan hal yang buruk terjadi padaku dan orang lain. Hingga aku sering merasa sumpek. Bagaimana caranya membuang pikiran-pikiran kotor dan jahat itu, kawan?. Aku hingga saat ini masih memikirkan caranya. Ya, aku lah yang harus mengendalikan pikiranku, bukan pikiran yang mengendalikanku.

Dalam proses meninggalkan dan ditinggalkan aku mulai belajar. Bahwa kedua hal itu memberikan hikmah bagiku. Aku masih harus terus belajar untuk menerima dan menghadapi kenyataan. Toh sekarang meninggalkan dan ditinggalkan, bagiku hanyalah perpindahan dan perbedaan tempat kita berpijak saja. Kita masih bisa menjalin sebuah hubungan baik.
Lega sudah menuliskan kecamuk yang menggerogoti hati dan pikiran.
Kini tinggallah rumah kenangan pikiran.



Ramsis, 27 September 2015, 22:07 wita


Ditulis saat mengenang kebersamaan dan menangisi ingatan (meninggalkan dan ditinggalkan)

Riyami

Sabtu, 29 Agustus 2015

Mimpiku yang Harus Dirawat


Oke, misi semester kali ini adalah move on dari semua pikiran dan beberapa hal yang mengganggu. Aku harus punya target yang berarti bagi hidupku dan orang lain. Berbuat lebih banyak, dan mengeluh sesedikit mungkin. Tidak boleh menyerah dulu sebelum mencoba. Hmmhh jadi teringat kalimat dari seorang kakak seniorku “sekali menyerah akan jadi kebiasaan”. Yah, semoga kali ini dan seterusnya aku bisa membuatnya nyata terjadi dalam hidupku. Dan harus berprasangka baik terhadap suatu hal.
Sebenarnya masalahku adalah sensitivitasku terhadap suatu hal sangatlah kurang. Aku kurang peka merasakan masalah atau kejanggalan yang terjadi di sekitarku. Aku tak bisa mengkritik maupun membuat pertanyaan pada hal kecil terkait ketimpangan tersebut. Apakah otakku sudah beku? Aku tak tahu,dan tak mau jika hal itu sampai terjadi. Aku ingin berbuat lebih untuk orang lain. Hanya perlu lebih percaya pada diri, aku pasti mampu. Karena itu, salah satu yang kuharapkan dapat meningkat pada diri ini adalah kepekaan terhadap apapun hal yang tengah terjadi. Dan mampu merumuskan masalah serta mencari solusinya. Aku harus berusaha menjadi peka. Harus rajin baca buku dan baca keadaan.
Mmm bagaimana dengan kerjasamaku dengan orang lain?. Ya, I have problem. Sulit diajak kerjasama, sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan terlalu egois. Oke, yang harus kulakukan untuk hal ini yaitu membangun komunikasi yang baik dengan orang lain, dan mengurangi kadar ego sedikit demi sedikit. Aku juga harus mampu mengakrabkan dan mengadaptasikan diri dengan situasi apapun. Intinya belajar mengendalikan emosi.
Semester ini mungkin aku juga merasa kehilangan dan ditinggal oleh hiruk pikuk sebuah rumah kecil di tengah kampus. Kesetiaanku pada kehidupan di dalamnya tak sebanding dengan kontribusi yang bisa kuberikan. Yah, entah keputusanku benar atau salah, aku lebih memilih untuk pergi dari kehidupanku itu. Pada dasarnya, sekarang aku tengah mempersiapkan diri untuk menerima semua konsekuensi yang akan terjadi. Selain itu, aku juga harus tetap memikirkan untuk rencana hidupku di suatu rumah yang baru. Life must go on!. Tak boleh kalah dengan keadaan. Mungkin memang sudah saatnya, merasakan cerita hidup di tempat yang lain. Bagaimanapun, semua telah dan akan memberi pelajaran untukku. Seperti yang pernah kudengar, bahwa setiap tempat bisa jadi tempat untuk belajar. Satu yang kupercaya, sebagian kehidupan yang kumiliki juga punya cerita yang telah tertulis, dan saat ini mungkin saja aku sedang mengikuti jalan ceritanya. Namun, saat untukku menuliskan sendiri plot-nya pun juga punya waktunya sendiri.
Memasuki tahun ke 2 1/2 tahun kuliahku, mimpi-mimpiku harus terwujud. Aku bertekad mewujudkannya. Inilah yang harus kuwujudkan sekuat kemampuanku:
  • -          For the first time, karena masuk di jurusan ilmu tanah aku harus berkembang di himpunanku (HIMTI). Viva soil, soil solid!
  • -          And then, sudah lama aku ingin bergabung dengan organisasi ini è BK-PLAT. God love, earth love, people love!  Yeayy.... aku ingin berpetualang dan belajar dari perjalanan. Si Bolang dari Podomoro hahaha :D
  • -          Bisa lebih sering turun ke lapangan, lebih peka dan bisa memecahkan masalah terkait tanah. Intinya meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.
  • -          Belajar bahasa ingrris dan belajar menulis juga hehe
  • -          Jalan-jalan ke kabupaten yang ada di Sul-sel


Cukup segitu dulu deh. Karena mimpi juga harus dirawat, semoga semua mimpi ini terawat dan I can make it comes true... aamiin ya Allah.
Ditulis saat mencari inspirasi untuk bangkit lagi
Ramsis, 29 Agustus 2015
Riyami

Jumat, 14 Agustus 2015

Mimpi

Mimpi

Oleh: Riyami


Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan
(Sajak Sikat Gigi Karya Yudhistira  A.N.M Massardi, 1974)
            Saya menulis ini bukan untuk mengkaji sajak. Karena pada dasarnya, saya tidak tahu banyak terkait karya sastra. Ini adalah keinginan untuk mengenang sakit gigi yang saya derita beberapa hari lalu. Saat itu, di sela kesakitan yang menyempitkan syaraf kebugaran, saya masih sempat untuk mengakses internet. Berharap memperoleh informasi untuk mengatasi rasa nyeri tak tertahankan yang mendera, sebelum ke dokter gigi.
            Alih-alih membuka tautan yang berisi tips atasi sakit gigi, saya malah membuka tautan yang memuat Sajak Sikat Gigi. Terkesan, itulah yang saya rasakan saat mulai membacanya. Bahasanya sungguh polos menurutku, langsung tanpa embel-embel riasan metafora dan kata-kata njlimet yang biasanya ditemui dalam puisi. Saya menyukainya.
Karya itu menyajikan komedi yang langsung menohok batinku. Seolah menyindirku yang kadang khilaf atau bisa dibilang kadang malas, sering melewatkan ritual menggosok gigi sebelum tidur. Dan kudapatlah ganjarannya, aku sakit gigi. Dan bukannya bermimpi tentang sikat gigi yang menggosok-gosok mulutku agar terbuka, seperti dalam sajak itu. Namun mimpiku lain, gigi belakangku berlubang dan nampak mengerikan, gigi itu tanggal dari gusiku. Mimpi buruk!.
Muncul banyak interpretasi setelah bangun dari mimpi itu. Aku menganggapnya terjadi akibat pengaruh kekhilafanku karena tak menyikat gigi ataupun karena sakit gigi yang tengah kuderita. Di sisi lain aku juga teringat cerita Ibuku, bahwa jika bermimpi ada gigi yang tanggal, maka itu pertanda ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Seperti dalam film Final Destination, mungkin mimpi juga bisa dikatakan sebagai bagian pertanda mekanisme pertahanan diri manusia dari bahaya. Dengan mimpi seseorang, orang lainnya diingatkan pada bahaya yang akan datang. Bisa dikaitkan juga ke dalam konteks spriritual, bahwa Yang Maha Kuasa memberikan mimpi kepada salah seorang makhluk-Nya, sebagai cara  untuk memberi peringatan maupun kabar gembira kepada yang lainnya.
Paparan lain muncul dari teori psikoanalisa, bahwa mimpi disebut sebagai wujud dari kehendak alam bawah sadar kita. Keinginan terpendam yang tak terwujud. Disebabkan faktor tertentu telah menghalangi seseorang untuk membuatnya jadi nyata. Jadilah, mimpi menjadi wadah pelampiasan dari keinginan terdalam sesorang yang tertunda. Akhirnya muncullah kesadaran untuk menafsirkankan makna dari peristiwa di alam mimpi. Sebagai upaya membandingkan pengalaman mimpi yang masih diingat dengan realitas yang memang kongkrit terjadi. Dimana kenyataan fiksional kadang harus dipertemukan dengan kenyataan faktual.
Lantas bisakah kita mengendalikan mimpi saat terlelap?. Jawabannya bisa, karena aku sendiri pernah mengalaminya. Fakta membenarkan, seseorang bisa mengendalikan mimpinya apabila ia berada pada kondisi lucid dream (mimpi yang jelas), yaitu keadaan ketika seseorang menyadari dirinya sedang bermimpi. Frederick van Eeden, seorang psikolog dan ilmuwan Belanda, menjadi orang pertama yang menggunakan istilah itu, melalui jurnalnya, “A Study of Dreams”, tahun 1913.
Ada rasa yang lain ketika kita dapat mengalami mimpi yang jelas, yang bisa kita kendalikan. Secara sadar kita bisa mengeksplorasinya. Namun, kenyataannya yang kualami tak seperti saat menonton film “Inception”, besutan sutradara Christoper Nolan. Dimana aktor Leonardo D’Caprio dan kelompoknya, dalam film tersebut mampu mengendalikan mimpi yang terhubung satu sama lain. Mereka mampu mengorek informasi penting dari lawan mereka atau mempengaruhi orang untuk mengambil keputusan penting. Mimpi mereka pun berlapis-lapis, artinya ada tingkatan kedalaman mimpi atau tingkat keterlelapan. Aku hanya bisa membayangkan, akan seperti apa jadinya jika mimpi para pembuat kebijakan negara bisa dikendalikan ke arah mimpi-mimpi idealis bangsa ini.
Entahlah, aku sendiri masih bingung, apakah benar mimpi mozaik-mozaik pengalaman di kenyataan yang masih terbawa dalam tidur kita. Ataukah mimpi melulu firasat, yang akhirnya memberikan tanda-tanda informasi akan adanya suatu kejadian kepada seseorang. Bagiku semuanya punya probabilitas.
Bias pikiran akibat alam khayal atau alam mimpi masih banyak melekat dalam kehidupan sehari-hari. Kita dituntut harus mampu membedakan apa saja yang bisa disepadankan dengan kenyataan yang terjadi, dan apa saja yang bertentangan dengan fakta yang ada. Semua hanya agar kita tak terjerumus dalam suatu persepsi yang berlebih-lebihan, “lebayistis” dalam menafsirkan mimpi.
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah
Angkatan 2013, Fakultas Pertanian Unhas
Jumat, 14/08/15
























Sabtu, 27 Juni 2015

Tanpa Judul


Tanpa Judul




Hari ini saya kembali dipertemukan dengan sahabat-sahabatku yang lucu-lucu. Terimakasih Ya Allah dan terimakasih juga Pallu, di hari menetasmu kali ini, kamu membuat acara bukber kecil-kecilan dan mengundangku bersama anak-anak IPA 3 yang sempat hadir (Ada Inna, Risal, Luke', Winda, Sinta), serta Baso si Juniormu di PIP. Untuk pertama kalinya, karena pertemuan ini hehehe saya bisa mencicipi makanan yang namanya Pizza. And I think, bakso is more delicious than Pizza. Saya tidak terlalu suka rasanya, baunya aneh menurutku. Bau fermentasinya sangat kuat, dan saya tidak tahan dengan itu.  

Saya pikir Pallu, lain kali kalo mau traktir lagi jangan ajak saya kalau makanannya macam Pizza ataupun Fried Chicken-nya KFC. Bukannya saya tidak hargai ajakanmu. Namun ini lebih kepada rasa dan harga (haduh kelihatan sekali kalau saya anak kosan). Rasa makanan di tempat macam tadi susah ditebak, karena namanya juga aneh-aneh. Pantas saja kalau rasanya juga aneh (di lidahku). Ditambah lagi, harganya menurutku tak sebanding dengan rasa makanan yang kita dapat. Ini bukan juga karena seleraku murahan ya terhadap makanan. Ehh nah loh.. hehe 

So far, pertemuan kita tadi cukup berharga buatku. Kita kembali menjalin silaturahmi, kembali bernostalgia, bercanda bersama, dan menertawai kecerobohan masing-masing dari kita saat makan. Namun, dibalik itu semua saya masih tetap menantikan kita kumpul lengkap sama-sama. Walaupun itu adalah keinginan yang sulit realisasinya. 

Rabu, 20 Mei 2015

Hampa


Hampa




Hampa sama saja dengan kosong, tak ada apa-apa di dalamnya. Itukah yang kurasakan sekarang? Saya sendiri tak tahu. Inikah yang disebut dengan kebosanan menjalani hari-hari? Saya pun bingung menjelaskannya. Rasanya suasana hampa tersebut mengikutiku tiap hari. Ini bukan hampa yang sehampa-hampanya. Masih ada terbesit rasa di ruang jiwa. Namun pemaknaan atas semuanya, tak jua muncul dalam ruang pikir.

Saya sendiri takut, rasa hampa itu akan menggelayut hingga ajal menjemput. Apa yang bisa kulakukan sekarang?. Diri ini pun masih diam, entah mengapa ia tak tahu harus berbuat apa untuk memerangi kehampaan yang menyerangnya. Semua yang terlihat di matanya hanya kebingungan, harus apa? Dan bagaimana caranya?. Sejuta tanya yang mengudara, tanpa ada satu pun jaring jawaban yang bisa menangkapnya. Hanya bisa meyakinkan diri, bahwa hampa ini hanya butuh sebuah gerakan dari jiwa untuk melawan, agar semua hal yang telah terlaksana tak berujung sia-sia belaka.

Dilema, suatu perasaan yang berbarengan ikut memberondong ruang pikirku. Ada saja saat ketika ruang pikirku hendak melakukan sebuah gerakan melawan kekosongan ini, raga ini tak mau mengikuti perintahnya. Barangkali raga ini telah teracuni oleh lingkungan dan partikel radikal bebasnya yang jahat. Sehingga, raga ini tak peka lagi terhadap kondisi yang ada. Yang ia rasakan hanyalah efek racun kekosongan itu.

Saya pun menjadi tak yakin, akankah ada sesorang yang datang untuk menyembuhkanku dari semua ini. Meskipun sosok itu pernah mengatakan kesanggupannya, namun nyatanya itu tak terbukti hingga sekarang. Kata-kata yang pernah ia ucapkan menguap terbawa angin lalu. Ah, sabda Rasulullah benar, hanya saya yang dapat mengubah diri saya dan kehampaan ini. Input apa pun yang mencoba masuk untuk menyembuhkan, akan sia-sia jika diri ini sendiri tak punya semangat untuk mengobatinya.

Saya pikir, masih adakah peluang untuk menetralkan efek racun ini?. “Semoga saja masih ada. Ya, masih ada satu kekuatan besar dan dua sosok yang tulus cintanya kepadaku” harapku. Hampa.... tolong, menjauhlah dariku. Saya ingin manjadi orang yang bermanfaat.


Pagi yang cerah, namun terasa sedikit hampa
Kamis, 21 Mei 2015

R I Y A M I

Senin, 27 April 2015

Mikroalga, Biorefinery Masa Depan

Gambar1: Model Teknologi Budidaya Mikroalga di AlgaePARC (http://www.algaeparc.com)

Saat ini krisis energi, pangan, dan  lingkungan mengkhawatirkan masyarakat dunia. Berdasarkan Annual Report WWF Global Tahun 2014, selama lebih dari 40 tahun, tuntutan manusia terhadap alam telah melebihi ambang yang dapat dipulihkan kembali oleh planet ini. Kita membutuhkan 1,5 kali planet bumi dari yang ada sekarang untuk pemenuhan  kebutuhan gaya hidup kita terhadap alam.  Kita telah  mengeksploitasi sumber daya alam dan tentu akan lebih sulit untuk menopang kebutuhan generasi mendatang. Efek ganda dari meningkatnya populasi manusia dan tingginya jejak ekologis per kapita akan melipatgandakan tekanan yang kita berikan pada sumber daya kita. Konsekuensi lanjutannya yaitu sumber daya berkurang dan limbah terakumulasi lebih cepat daripada yang dapat didaur ulang, contohnya meningkatnya konsentrasi karbon di atmosfer.
Karbon dari pembakaran bahan bakar fosil telah menjadi komponen dominan jejak ekologis manusia selama lebih dari setengah abad dan masih tetap dalam kecenderungan yang meningkat. Pada tahun 1961, karbon hanya sebesar 36% dari keseluruhan jejak kita, akan tetapi pada tahun 2010 menjadi sebesar 53% (WWF Living Planet Report, 2014).
Negara-negara dengan tingkat pembangunan manusia yang tinggi cenderung memiliki jejak ekologis yang juga lebih tinggi. Tantangan bagi negara-negara tersebut adalah bagaimana caranya meningkatkan pembangunan manusia mereka, sekaligus menjaga jejaknya agar tetap rendah untuk mencapai tingkat yang berkelanjutan secara global. Menghadapi tantangan krisis global, Belanda melakukan inovasi dengan mengembangkan teknologi untuk memanfaatkan potensi mikroalga yang ada di 18,41% luas perairannya.
Disadari atau tidak, beberapa peneliti meyakini bahwa dengan teknologi mikroalga, ketiga sumber bencana massal itu bakal dipecahkan oleh sel kecil tersebut. Mikroalga memiliki potensi sebagai bahan baku penghasil energi. Tidak dipungkiri bahwa pertumbuhan  mikroalga lebih cepat dari tumbuhan tingkat tinggi yang dapat menghasilkan minyak, seperti jagung, kedelai, kelapa sawit, dan bunga matahari untuk menghasilkan biofuel. Selain itu mikroalga tidak membutuhkan banyak lahan dan air untuk pertumbuhannya. Hal yang lebih baik, mikroalga tidak menghasilkan limbah yang berdampak buruk bagi lingkungan, sehingga tidak mempengaruhi kualitas air yang telah digunakan sebagai pertumbuhan.
Tak menyia-nyiakan potensi  mikroalga yang ada di wilayah perairannya, Belanda pun mengembangkan teknologi yang diberi nama AlgaePARC (Production And Research Center). Program penelitian AlgaePARC telah dirintis empat tahun lalu oleh Wageningen University and Research Centre bekerja sama dengan sembilan belas mitra industri, sebagai bagian dari program biosolar sel. Program ini mendapatkan dukungan finansial dari Kementrian Perekonomian Belanda dan sembilan belas mitra industri, serta The Netherlands Organisation for Scientific Research (NWO) , sebagai organisasi riset ilmiah Belanda yang mengarahkan jalannya program penelitian dan mengelola infrastruktur pengetahuan nasional.


Gambar 2: Sistem Produksi Mikroalga dalam reaktor di AlgaePARC (Sumber: Hans Wolkers, Maria Barbosa, Dorinde Kleinegris,Rouke Bosma, René H. Wijffel. 2011. Microalgae: the green gold of the future?Large-scale sustainable cultivation of microalgae for the production of bulk commodities. Propress, Wageningen)

AlgaePARC merupakan kebun alga tempat pengembangan budidaya mikroalga dalam kondisi laboratorium yang terkendali. Di sini para peneliti terus mengembangkan berbagai jenis dan strain mikroalga untuk dibudidayakan. Tak hanya itu, sistem pembudidayaan dengan photobioreactor untuk memperoleh hasil produksi yang maksimal dan efisien juga terus ditingkatkan. Dalam pengembangannya, para peneliti menerapkan prinsip biorefinery, yaitu proses konversi biomassa (bahan-bahan terbarukan) menjadi beberapa produk. Pendekatan ini analog dengan kilang minyak mentah di mana berbagai produk dibuat dari bahan baku tunggal untuk mengoptimalkan nilai. Pada rekayasa bioproses dikembangkanlah proses pemisahan ringan yang memungkinkan kita untuk mendapatkan biomolekul lebih berharga dari biomassa mikroalga, yang dapat meningkatkan nilai ekonomi dan dampak positif bagi ekologi.
Empat tahun setelah perhitungan optimis pertama, budidaya eksperimental mikroalga tampaknya bertemu harapan. Menurut René Wijffels, Profesor Rekayasa Bioproses di Wageningen University, AlgaePARC tak hanya mengembangkan teknologi budidaya mikroalga, di kebun alga ini juga dikembangkan produk-produk yang dapat dihasilkan dari proses ekstraksi mikroalga seperti minyak alga, tepung alga untuk pembuatan pakan ternak, bioplastic, suplemen makanan, bahan kosmetik, dan pigmen warna alami untuk pewarna makanan dan cat, serta yang tak kalah penting adalah bahan bakar nabati dari hasil fermentasi karbohidrat yang dihasilkan alga.


Gambar 3: Beberapa Hasil Pengolahan Ekstrak Mikroalga (Sumber: Hans Wolkers, Maria Barbosa, Dorinde Kleinegris,Rouke Bosma, René H. Wijffel. 2011. Microalgae: the green gold of the future?Large-scale sustainable cultivation of microalgae for the production of bulk commodities. Propress, Wageningen)

Belanda, melalui proyek AlgaePARC oleh Wageningen UR telah menunjukkan bagaimana budidaya mikroalga di negeri kincir angin ini memiliki masa depan yang cerah. Tak hanya cerah bagi perekonomian mereka nantinya, namun cerah juga untuk masa depan lingkungan. Jejak CO2 di atmosfer pun akan berkurang, karena diserap oleh alga mikro untuk fotosintesis. Bayangkan saja jika semua negara di dunia yang memiliki potensi untuk mengembangkan teknologi ini, berapa banyak CO2 yang berkurang di atmosfer. Dan yang penting adalah krisis energi, pangan, dan lingkungan dapat diminimalisir. Biorefinery mengubah “si kecil” Mikroalga menjadi berbagai macam produk yang bermanfaat “besar.”
Sumber:
Hans Wolkers, Maria Barbosa, Dorinde Kleinegris,Rouke Bosma, René H. Wijffel. 2011. Microalgae: The Green Gold of The Future?Large-Scale Sustainable Cultivation of Microalgae for The Production of Bulk Commodities. Wageningen: Propress. Dalam http://www.researchgate.net/profile/Rouke_Bosma/publication/254833465_Microalgae_the_green_gold_of_the_future__large-scale_sustainable_cultivation_of_microalgae_for_the_production_of_bulk_commodities/links/00463528b4380004c5000000.pdf
https://www.youtube.com/watch?v=hYZwgANfrA8
Ditulis pada 27 April 2015 
Untuk HWC 2015

R I Y A M I

Jumat, 10 April 2015

Diam dalam Kerinduan

Diam dalam Kerinduan

Sepertinya ada yang berubah kali ini. Apakah saya yang berubah? ataukah kamu?. Entahlah, saya merasa semua ini tak jelas. Ahhhh, ada apa denganku?. Rasanya ingin sekali meluapkan kemarahan. Tapi kemarahanku ini tak beralasan sama sekali. Mungkin saya baru sadar, bahwa sesuatu itu ternyata sangat berarti ketika sesuatu itu jauh, pergi atau bahkan hilang. Dan saya sekali lagi baru menyadarinya. 

Apakah ini lagi-lagi kerinduan? ahh entahlah. Namun mungkin saja ini benar, kerinduan. Hey, tapi bukankah yang punya permainan "No Comunication" itu saya?. Lantas apakah sekarang kamu berbalik memainkannya?. Memang, mungkin tidak separah yang saya lakukan terhadapmu waktu itu. Tapi tahukah kamu, itu semua itu kadang mengacaukan pikiranku, dan hari-hariku. Semenjak kau pergi waktu itu, sekali pun tak pernah kamu menghubungiku. Aneh, tak seperti biasanya. Obrolan di media sosial pun hanya sesekali saja. 

Ah sudahlah, saya tidak ingin berpikir macam-macam. Mungkin kamu sedang benar-benar sibuk dengan urusanmu disana, sampai-sampai tidak punya waktu sedikit saja untuk berkomunikasi denganku. Ataukah mungkin saja kamu ingin membalasku dengan kerinduan yang pernah kamu rasakan?. Sekali lagi, saya tidak ingin kamu merindukanku, karena saya tak pantas untuk dirindukan, dan maafkan saya karena hal ini. Jika memang kamu merindukanku, titipkanlah saja do'a pada-Nya bahwa kamu memang merindukanku. Agar saya tak perlu mendengarnya, karena itu sangat menyiksa. 


Entahlah sampai kapan semuanya akan seperti ini, satu hal yang ingin saya ungkapkan, "saya tidak akan menghubungimu, sampai kamu yang menghubungiku lebih dahulu." Maaf, saya memang egois. Dan saya pikir, kamu sudah lama mengetahuinya. Pengakuanku kali ini, mungkin benar bahwa saya merindukanmu. Hanya bisa menuliskannya, dan tak dapat mengucapkannya kepadamu. Cukup, biarkanlah saya diam dalam kerinduanku. Diam, saya hanya bisa diam. Saya pikir, tak perlu ada orang yang tahu apa yang saya rasakan. Cukup saya dan Yang Maha Kasih. 


Ditulis saat meluapkan kerinduan 
Jurusan Agronomi, 10 Maret 2015

R I Y A M I


Kamis, 26 Maret 2015

Rindu

Merindu Lagi


Apa yang bisa kuceritakan hari ini adalah lagi-lagi soal kerinduan. Rasa itu seenaknya saja datang menghampiri. Namun sudah beberapa hari semenjak mimpi itu, rasa rinduku kepada sosok-sosok itu makin meluap-luap. Duh Gusti, mimpi itu sangat menakutkan. Dalam mimpi itu, aku kehilangan salah satu dari mereka. Ya, disitulah aku merasakan penyesalan yang amat dalam, karena belum bisa membalas cinta kasih sayangnya selama ini, karena tidak menyempatkan diri untuk sebentar saja pulang menengoknya, dan lebih memilih untuk mengerjakan hal lain disini.
Dalam mimpiku itu, aku juga melihat sosok perempuan kuat yang kusayang bersedih, rintihan sedihnya menyayat perasaanku. Aku pun bertanya pada diri ini, apa yang sudah kuberikan kepada mereka? Apakah aku sudah menjadi anak yang baik untuk mereka? Apa yang sudah kulakukan untuk membalas semua kasih mereka?. Meskipun diriku sendiri tahu, mereka tak pernah sekali pun menuntut balas apa pun dariku. Yang Maha Kuasa, aku tak ingin mendapati penyesalan seperti dalam mimpi itu. Aku ingin membahagiakan mereka, aku ingin mereka bangga memiliki anak macam diriku, aku ingin menjadi anak yang baik bagi mereka. Hanya satu pintaku pada-Mu, jagalah mereka.
Kadang aku termenung sendiri, melamunkan mereka. Kira-kira mereka sedang apa ya? Apakah mereka sehat? Apakah mereka sudah makan? Mereka sedang makan apa ya?. Wah senangnya jika bisa makan bersama mereka, ke ladang bersama mereka dan makan bekal dari masakan Ibu. Merasakan kejahilan Bapak, sosok yang bisa mengesalkan dan menggembirakan pada saat yang bersamaan, dan keseruan berada ditengah-tengah perdebatan mereka. Ahhh,, memikirkannya makin membuatku rindu mereka. Ibu... Bapak... anakmu yang cengeng ini rindu kalian.
Sore ini (26/3), karena sudah tak tahan lagi menahan rindu ini, aku menelpon mereka. Suara yang teduh pun menyambut. Getar rindu dan kegembiraan kurasakan dari suara Ibuku. Langsung saja kuutarakan bahwa aku rindu mereka. Balas rindu dari mereka pun terdengar. Dan kalimat yang selalu mereka katakan itu kembali terdengar. “Bapak, mamak juga kangen sama kamu. Tapi ya mau bagaimana lagi, kamu juga kan harus belajar. Dengar suaramu dan kamu bilang kamu sehat itu sudah cukup meringankan rindu, nak,” itulah yang mereka ujarkan. Oh betapa terenyuhnya perasaanku tiap kali mendengarnya.
Aku kembali berkhayal, bagaimana rasanya menjadi mereka. Apakah sosok yang dikirimkan-Nya sebagai jodohku nanti dapat mendampingiku dan ikut merasakan rindu seperti yang mereka rasakan?. Ya, semoga saja kelak menjadi orangtua yang dirindukan oleh anak-anaknya.
Dalam suasana senja ke peraduannya
Kamis, 26 Maret 2015

R          I           Y          A          M         I



Minggu, 18 Januari 2015

Aku Rindu, Bapak...



Aku Rindu, Bapak...

Cerita hidup. Ya, setiap orang memiliki beragam kisah hidup. Aku pun punya ceritaku sendiri. Entah baik atau buruk untuk dibaca orang, terserah bagaimana penilaian mereka. Aku ingin bercerita tentang masa kecilku. Apakah aku bahagia? Atau sedih?. Kedua-duanya kurasakan dan susah untuk dilupakan. Namun kali ini ceritaku tentang kerinduan.
Hal terberat yang kualami saat itu adalah ketika ditinggal oleh Mamak, Ibuku. Di saat umurku yang masih satu tahun, orangtuaku berpisah. Terjadi pertengkaran diantara mereka. Memang tidak berpisah jauh. Ia memilih tinggal di rumah Budeku. Aku kecil, merasakan bagaimana susahnya tanpa Mamak. Di umurku yang masih membutuhkan air susunya, terlebih kasih sayangnya, ia meniggalkanku.
Namun, satu hal yang aku syukuri Bapak merawatku dengan sabar dan tidak melarangku untuk bertemu dengannya. Tidak mudah bagiku untuk bertemu Mamak. Aku harus merengek dan menangis. Setelah itu, Tanteku yang kupanggil dengan nama Mamak Di akan mengantarku ke rumah Bude. Sungguh perjuangan untuk bertemu dengannya.
Hal yang menurutku paling nelangsa di masa kecilku adalah ketika aku ingin minum susu.  Ekonomi keluargaku saat itu memanglah sulit. Di saat aku menyatakan keinginanku itu, Bapak hanya bisa memberikanku air gula merah dan tajin. Ia pun menjanjikan keinginanku itu akan ditepatinya di lain waktu. Aku kecil pun belajar nrimo terhadap keadaan. Hingga pada suatu saat akhirnya Mamak kembali ke rumah kami. Betapa senangnya ada Ibu yang kembali mengurusi kami.
Tak lama setelah kebahagiaan itu datang, mendung kesedihan pun datang lagi. Bapak harus ke Jawa karena Kakek sakit parah. Ditinggalkan oleh sosok penting kembali lagi kurasakan. Aku takut Bapak akan lama pergi meninggalkanku. Aku kecil memang susah pisah darinya setelah pernah ditinggal Mamak. Setelah kepergiannya, Aku setiap hari menanyakan kapan Bapak pulang. Gara-gara itu, terkadang tetanggaku suka membuatku menangis. Mereka meledekku, dan mengatakan bahwa Bapakku tidak akan pulang karena punya istri baru di Jawa. Aku benci dengan perkataan mereka, walaupun itu hanya candaan.
Dalam penantian datangnya Bapak, Aku sempat sakit. Sakit karena rindu dan ketakutanku. Darah pun keluar dari telinga, hidung, gusi, dan bibirku. Badanku panas. Mamak pun bingung dan hanya bisa meyakinkanku bahwa Bapak akan segera pulang. Setelah sembuh dari sakitku, tiap pagi dan sore Aku berdiri ataupun jongkok di pinggir perempatan jalan, menunggu sosok yang kurindu datang. Tak jarang ketika ada teman Bapak lewat, kuajak ia menemaniku. Ah, betapa konyolnya Aku. Bahkan jika kudengar ada suara bus di perempatan jalan, Aku langsung lari. Berharap Bapakku yang datang, dan hasilnya lagi-lagi nihil.
Hingga pada akhirnya saat yang kutunggu-tunggu datang, sosok itu turun dari Bus. Bapak yang kurindukan datang. Aku lari kepadanya, dan Ia pun langsung menggendongku. Aku menangis sekeras yang kumampu, melampiaskankan kerinduanku padanya. “Nda usah nangis, Nduk. Nanti Bapak pergi lagi lho kalau kamu nda mau berhenti nangis,” tuturnya padaku. “Aku kangen Bapak. Jangan pergi jauh lagi,” timpalku dengan sesenggukan.

Dari secuil cerita hidupku ini, Aku menyatakan bahwa rindu adalah kawan terjahat yang kupunya. Menyiksa batinku sesukanya. Namun dibalik kejahatannya, rindu mengajarkanku sabar, ikhlas, dan berjuang menegakkan komitmen. Terimakasih kepada Yang Maha Pengasih, karena telah menitipkan rasa rindu padaku. 
sekedar ingin menulis saja
Selasa, 13 Januari 2015

Riyami