Kamis, 20 November 2014

Putri Keraton Mengejar Kebahagiaan

Putri Keraton Mengejar Kebahagiaan




Nama yang diberikan untuknya begitu panjang. Gusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril Ngarasati Koesoemawardhani. Ialah sosok perempuan Keraton berkarakter dan berprinsip. Gusti Noeroel nama panggilannya, merupakan anak tunggal putra adipati Keraton Jawa, Kota Solo, Praja Mangkunagaran, K.G.P.A.A Mangkoenagoro VII dari permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu Timoer. Ayah Gusti Noeroel adalah seorang ningrat dari Solo yang beristrikan putri dari Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat. Ibu Gusti Noeroel adalah puteri ke-12 Sultan Hamengku Buwono VII dari permaisuri ketiga, GKR Kencono. Nama asli ibunya adalah G.R.Ay Mursudarijah.
Putri Keraton ini memiliki sisi hidup yang berbeda, sudah sejak remaja ia menerima modernitas dengan tangan terbuka. Selain terbiasa mendengar gamelan di lingkungan Keraton, ia juga menyukai lagu Barat. Ia senang berfoto, bermain tenis, dan terampil menunggang kuda. Namun, sebagai seorang Putri Keraton dia juga biasa berkebaya dan menggelung rambut. Gusti Noeroel pun mendalami seni tari Jawa klasik dan pada tahun 1937 sempat mempertunjukkan kepiawaian menarinya di hadapan Ratu Wilhelmina dalam pesta pernikahan Putri Juliana di Belanda. Oleh sebab sosoknya yang berkarakter inilah, ia menarik perhatian banyak pihak, mulai dari media nasional hingga media di Belanda. Profil Gusti Noeroel dimuat di beberapa media tersebut. Sosoknya pun memberikan inspirasi untuk wanita pada zamannya.
Tak hanya diidolakan kaum perempuan, kecantikan fisik dan kepribadian menarik seorang Gusti Noeroel juga memikat hati berbagai kalangan dan bangsawan. Namun, prinsip kuatnya yang menolak poligami membuat banyak pria patah hati. Menurutnya, Perempuan tidak membuat sedih orang lain, ia tidak mau menyakiti hati perempuan lain dengan tidak mau dimadu. Sederhana saja alasannya. "Aku takut tidak bisa tidur karena dimadu," jawabnya terhadap Sultan Hamengku Buwono IX yang tak berhasil meminangnya.
Beliau rela baru menikah pada usianya yang ke-30 tahun, setelah yakin bahwa calonnya tidak akan punya selir. Ia menjatuhkan pilihan kepada seorang militer berpangkat letnan kolonel yang bertugas di Bandung sebagai Komandan Pusat Kesenjataan Kavaleri TNI AD, RM Soerjo Soejarso. Mas Jarso, panggilan akrabnya, adalah juga keturunan bangsawan. Namun, pasangan suami istri berdarah biru ini meninggalkan Keraton untuk hidup bersama, membangun keluarga sederhana dalam perantauan.
Pasangan ini dikaruniai 7 anak (satu meninggal), 14 cucu, dan 4 buyut. Kepada anak-anaknya, terutama anak perempuan, Gusti Noeroel kerap berpesan agar jangan pernah mau dimadu. Meski bukan satu-satunya pandangan yang ia tanamkan kepada penerusnya, pesan ini bermakna mendalam.
Dalam buku ini, Ully Hermono selaku penulis menggunakan sudut pandang orang pertama. Sehingga, saat membacanya seolah-olah Gusti Noeroel sendiri yang bercerita tentang pengalaman, pemikiran dan pilihan hidupnya. Termasuk juga menjawab pertanyaan , mengapa ia mengejar kebahagiaan begitu jauh sampai keluar tembok Pura Mangkunagaran, istana yang telah memanjakannya dengan segala kemewahan dan para abdi dalem yang setia. Penggambaran latar dalam buku ini sangatlah nyata. Kita diajak untuk membangun imajinasi masa lampau. Selain itu, kita juga disuguhkan album kenangan Putri Keraton ini selama masa muda hingga tuanya.
Tak hanya itu, buku setebal 285 halaman ini juga mengisahkan cerita kehidupan keluarga keturunan bangsawan yang mencontohkan kesederhanaan. Selain cerita bagaimana menjadi istri, ibu, juga perempuan muda yang mandiri serta mampu menyeimbangkan adat istiadat dengan modernisasi. Dalam buku ini pun diceritakan sosok perempuan Jawa yang sederhana tetapi berani bereksperimen dengan gaya penampilannya, busana juga perawatan kecantikannya. Ia tak malu tampil berkebaya namun tetap bereksperimen gaya dengan busana konsep modern. Ia menyanggul rambutnya namun tak membatasi aktivitasnya seperti menunggang kuda, bertenis, berenang dan lainnya. Ia menguasai tarian klasik dan mendengarkan musik gamelan, namun tak anti pada lagu Barat. Tak ketinggalan, ia menjalani tradisi warisan budaya Keraton termasuk dalam hal kecantikan.
Membaca buku Gusti Noeroel akan memberikan inspirasi dan segudang makna, utamanya bagi perempuan. Di dalamnya juga terdapat banyak pelajaran berharga, mulai kesederhanaan, integritas, tata krama, pengasuhan anak, hingga sebagian kisah Keraton Solo yang makin memperkaya isi buku ini. Usai membacanya, mungkin Anda akan menemukan idola atau bahkan pandangan baru mengenai kehidupan kalangan bangsawan.
Bukan semata biografi sosok perempuan yang layak menjadi inspirasi, namun juga menjadi pengingat sekaligus kritik kepada kalangan bangsawan. Golongan ningrat kebanyakan sombong dan menganggap dirinya berbeda, mengagungkan dirinya sendiri. Mereka tidak mau berbaur. Padahal, hakikatnya kita sama-sama manusia, mengapa harus berbeda. Buku ini memberikan makna bagaimana seharusnya bangsawan belajar merakyat, dan tidak ada lagi feodalisme. Bangsawan yang sebenarnya adalah mereka yang merakyat, bukan yang memisahkan diri.
Kebanyakan dari buku biografi yang kita jumpai, biografi tokoh perempuan Indonesia sangatlah jarang. Buku ini wajib dibaca penyuka buku biografi Tokoh-Tokoh Indonesia. Buku ini juga layak dibaca karena Gusti Noeroel bisa dijadikan contoh salah satu perempuan Indonesia yang berpikiran moderen, namun tetap menjaga kebudayaan dari mana dia berasal. Selamat membaca!
Riyami



Judul Buku: Gusti Noeroel, Streveen naar geluk (Mengejar Kebahagiaan)
Penulis: Ully Hermono
Penerbit: Kompas
Tebal: viii + 285; 21cmx14cm

Cetakan Pertama: 2014 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar