Putri Keraton Mengejar Kebahagiaan
Nama
yang diberikan untuknya begitu panjang. Gusti Raden Ajeng Siti Noeroel Kamaril
Ngarasati Koesoemawardhani. Ialah sosok perempuan Keraton berkarakter dan berprinsip.
Gusti Noeroel nama panggilannya, merupakan anak tunggal putra adipati Keraton
Jawa, Kota Solo, Praja Mangkunagaran, K.G.P.A.A Mangkoenagoro VII dari
permaisurinya, Gusti Kanjeng Ratu Timoer. Ayah Gusti Noeroel adalah seorang
ningrat dari Solo yang beristrikan putri dari Kasultanan Ngayogyakarta
Hadiningrat. Ibu Gusti Noeroel adalah puteri ke-12 Sultan Hamengku Buwono VII
dari permaisuri ketiga, GKR Kencono. Nama asli ibunya adalah G.R.Ay
Mursudarijah.
Putri
Keraton ini memiliki sisi hidup yang berbeda, sudah sejak remaja ia menerima
modernitas dengan tangan terbuka. Selain terbiasa mendengar gamelan di
lingkungan Keraton, ia juga menyukai lagu Barat. Ia senang berfoto, bermain
tenis, dan terampil menunggang kuda. Namun, sebagai seorang Putri Keraton dia
juga biasa berkebaya dan menggelung rambut. Gusti Noeroel pun mendalami seni
tari Jawa klasik dan pada tahun 1937 sempat mempertunjukkan kepiawaian
menarinya di hadapan Ratu Wilhelmina dalam pesta pernikahan Putri Juliana di
Belanda. Oleh sebab sosoknya yang berkarakter inilah, ia menarik perhatian
banyak pihak, mulai dari media nasional hingga media di Belanda. Profil
Gusti Noeroel dimuat di beberapa media tersebut. Sosoknya pun memberikan
inspirasi untuk wanita pada zamannya.
Tak
hanya diidolakan kaum perempuan, kecantikan fisik dan kepribadian menarik
seorang Gusti Noeroel juga memikat hati berbagai kalangan dan bangsawan. Namun,
prinsip kuatnya yang menolak poligami membuat banyak pria patah hati. Menurutnya,
Perempuan tidak membuat sedih orang lain, ia tidak mau menyakiti hati perempuan
lain dengan tidak mau dimadu. Sederhana saja alasannya. "Aku takut tidak
bisa tidur karena dimadu," jawabnya terhadap Sultan Hamengku Buwono IX
yang tak berhasil meminangnya.
Beliau
rela baru menikah pada usianya yang ke-30 tahun, setelah yakin bahwa calonnya
tidak akan punya selir. Ia menjatuhkan pilihan kepada seorang militer
berpangkat letnan kolonel yang bertugas di Bandung sebagai Komandan Pusat
Kesenjataan Kavaleri TNI AD, RM Soerjo Soejarso. Mas Jarso, panggilan akrabnya,
adalah juga keturunan bangsawan. Namun, pasangan suami istri berdarah biru ini
meninggalkan Keraton untuk hidup bersama, membangun keluarga sederhana dalam
perantauan.
Pasangan
ini dikaruniai 7 anak (satu meninggal), 14 cucu, dan 4 buyut. Kepada
anak-anaknya, terutama anak perempuan, Gusti Noeroel kerap berpesan agar jangan
pernah mau dimadu. Meski bukan satu-satunya pandangan yang ia tanamkan kepada
penerusnya, pesan ini bermakna mendalam.
Dalam
buku ini, Ully Hermono selaku penulis menggunakan sudut pandang orang pertama.
Sehingga, saat membacanya seolah-olah Gusti Noeroel sendiri yang bercerita
tentang pengalaman, pemikiran dan pilihan hidupnya. Termasuk juga menjawab
pertanyaan , mengapa ia mengejar kebahagiaan begitu jauh sampai keluar tembok
Pura Mangkunagaran, istana yang telah memanjakannya dengan segala kemewahan dan
para abdi dalem yang setia. Penggambaran latar dalam buku ini sangatlah nyata.
Kita diajak untuk membangun imajinasi masa lampau. Selain itu, kita juga
disuguhkan album kenangan Putri Keraton ini selama masa muda hingga tuanya.
Tak
hanya itu, buku setebal 285 halaman ini juga mengisahkan cerita kehidupan
keluarga keturunan bangsawan yang mencontohkan kesederhanaan. Selain cerita
bagaimana menjadi istri, ibu, juga perempuan muda yang mandiri serta mampu
menyeimbangkan adat istiadat dengan modernisasi. Dalam buku ini pun
diceritakan sosok perempuan Jawa yang sederhana tetapi berani bereksperimen
dengan gaya penampilannya, busana juga perawatan kecantikannya. Ia tak malu
tampil berkebaya namun tetap bereksperimen gaya dengan busana konsep modern. Ia
menyanggul rambutnya namun tak membatasi aktivitasnya seperti menunggang kuda,
bertenis, berenang dan lainnya. Ia menguasai tarian klasik dan mendengarkan
musik gamelan, namun tak anti pada lagu Barat. Tak ketinggalan, ia menjalani
tradisi warisan budaya Keraton termasuk dalam hal kecantikan.
Membaca
buku Gusti Noeroel akan memberikan inspirasi dan segudang makna, utamanya bagi
perempuan. Di dalamnya juga terdapat banyak pelajaran berharga, mulai
kesederhanaan, integritas, tata krama, pengasuhan anak, hingga sebagian kisah
Keraton Solo yang makin memperkaya isi buku ini. Usai membacanya, mungkin
Anda akan menemukan idola atau bahkan pandangan baru mengenai kehidupan
kalangan bangsawan.
Bukan
semata biografi sosok perempuan yang layak menjadi inspirasi, namun juga
menjadi pengingat sekaligus kritik kepada kalangan bangsawan. Golongan ningrat
kebanyakan sombong dan menganggap dirinya berbeda, mengagungkan dirinya
sendiri. Mereka tidak mau berbaur. Padahal, hakikatnya kita sama-sama manusia,
mengapa harus berbeda. Buku ini memberikan makna bagaimana seharusnya bangsawan
belajar merakyat, dan tidak ada lagi feodalisme. Bangsawan yang sebenarnya
adalah mereka yang merakyat, bukan yang memisahkan diri.
Kebanyakan
dari buku biografi yang kita jumpai, biografi tokoh perempuan Indonesia
sangatlah jarang. Buku ini wajib dibaca penyuka buku biografi Tokoh-Tokoh
Indonesia. Buku ini juga layak dibaca karena Gusti Noeroel bisa dijadikan
contoh salah satu perempuan Indonesia yang berpikiran moderen, namun tetap menjaga
kebudayaan dari mana dia berasal. Selamat
membaca!
Riyami
Judul
Buku: Gusti Noeroel, Streveen naar geluk (Mengejar Kebahagiaan)
Penulis:
Ully Hermono
Penerbit:
Kompas
Tebal:
viii + 285; 21cmx14cm
Cetakan
Pertama: 2014
Tidak ada komentar:
Posting Komentar