Minggu, 18 Januari 2015

Aku Rindu, Bapak...



Aku Rindu, Bapak...

Cerita hidup. Ya, setiap orang memiliki beragam kisah hidup. Aku pun punya ceritaku sendiri. Entah baik atau buruk untuk dibaca orang, terserah bagaimana penilaian mereka. Aku ingin bercerita tentang masa kecilku. Apakah aku bahagia? Atau sedih?. Kedua-duanya kurasakan dan susah untuk dilupakan. Namun kali ini ceritaku tentang kerinduan.
Hal terberat yang kualami saat itu adalah ketika ditinggal oleh Mamak, Ibuku. Di saat umurku yang masih satu tahun, orangtuaku berpisah. Terjadi pertengkaran diantara mereka. Memang tidak berpisah jauh. Ia memilih tinggal di rumah Budeku. Aku kecil, merasakan bagaimana susahnya tanpa Mamak. Di umurku yang masih membutuhkan air susunya, terlebih kasih sayangnya, ia meniggalkanku.
Namun, satu hal yang aku syukuri Bapak merawatku dengan sabar dan tidak melarangku untuk bertemu dengannya. Tidak mudah bagiku untuk bertemu Mamak. Aku harus merengek dan menangis. Setelah itu, Tanteku yang kupanggil dengan nama Mamak Di akan mengantarku ke rumah Bude. Sungguh perjuangan untuk bertemu dengannya.
Hal yang menurutku paling nelangsa di masa kecilku adalah ketika aku ingin minum susu.  Ekonomi keluargaku saat itu memanglah sulit. Di saat aku menyatakan keinginanku itu, Bapak hanya bisa memberikanku air gula merah dan tajin. Ia pun menjanjikan keinginanku itu akan ditepatinya di lain waktu. Aku kecil pun belajar nrimo terhadap keadaan. Hingga pada suatu saat akhirnya Mamak kembali ke rumah kami. Betapa senangnya ada Ibu yang kembali mengurusi kami.
Tak lama setelah kebahagiaan itu datang, mendung kesedihan pun datang lagi. Bapak harus ke Jawa karena Kakek sakit parah. Ditinggalkan oleh sosok penting kembali lagi kurasakan. Aku takut Bapak akan lama pergi meninggalkanku. Aku kecil memang susah pisah darinya setelah pernah ditinggal Mamak. Setelah kepergiannya, Aku setiap hari menanyakan kapan Bapak pulang. Gara-gara itu, terkadang tetanggaku suka membuatku menangis. Mereka meledekku, dan mengatakan bahwa Bapakku tidak akan pulang karena punya istri baru di Jawa. Aku benci dengan perkataan mereka, walaupun itu hanya candaan.
Dalam penantian datangnya Bapak, Aku sempat sakit. Sakit karena rindu dan ketakutanku. Darah pun keluar dari telinga, hidung, gusi, dan bibirku. Badanku panas. Mamak pun bingung dan hanya bisa meyakinkanku bahwa Bapak akan segera pulang. Setelah sembuh dari sakitku, tiap pagi dan sore Aku berdiri ataupun jongkok di pinggir perempatan jalan, menunggu sosok yang kurindu datang. Tak jarang ketika ada teman Bapak lewat, kuajak ia menemaniku. Ah, betapa konyolnya Aku. Bahkan jika kudengar ada suara bus di perempatan jalan, Aku langsung lari. Berharap Bapakku yang datang, dan hasilnya lagi-lagi nihil.
Hingga pada akhirnya saat yang kutunggu-tunggu datang, sosok itu turun dari Bus. Bapak yang kurindukan datang. Aku lari kepadanya, dan Ia pun langsung menggendongku. Aku menangis sekeras yang kumampu, melampiaskankan kerinduanku padanya. “Nda usah nangis, Nduk. Nanti Bapak pergi lagi lho kalau kamu nda mau berhenti nangis,” tuturnya padaku. “Aku kangen Bapak. Jangan pergi jauh lagi,” timpalku dengan sesenggukan.

Dari secuil cerita hidupku ini, Aku menyatakan bahwa rindu adalah kawan terjahat yang kupunya. Menyiksa batinku sesukanya. Namun dibalik kejahatannya, rindu mengajarkanku sabar, ikhlas, dan berjuang menegakkan komitmen. Terimakasih kepada Yang Maha Pengasih, karena telah menitipkan rasa rindu padaku. 
sekedar ingin menulis saja
Selasa, 13 Januari 2015

Riyami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar