Aku Rindu, Bapak...
Cerita hidup. Ya, setiap orang
memiliki beragam kisah hidup. Aku pun punya ceritaku sendiri. Entah baik atau
buruk untuk dibaca orang, terserah bagaimana penilaian mereka. Aku ingin
bercerita tentang masa kecilku. Apakah aku bahagia? Atau sedih?. Kedua-duanya
kurasakan dan susah untuk dilupakan. Namun kali ini ceritaku tentang kerinduan.
Hal terberat yang kualami saat
itu adalah ketika ditinggal oleh Mamak, Ibuku. Di saat umurku yang masih satu
tahun, orangtuaku berpisah. Terjadi pertengkaran diantara mereka. Memang tidak
berpisah jauh. Ia memilih tinggal di rumah Budeku. Aku kecil, merasakan
bagaimana susahnya tanpa Mamak. Di umurku yang masih membutuhkan air susunya,
terlebih kasih sayangnya, ia meniggalkanku.
Namun, satu hal yang aku syukuri
Bapak merawatku dengan sabar dan tidak melarangku untuk bertemu dengannya.
Tidak mudah bagiku untuk bertemu Mamak. Aku harus merengek dan menangis.
Setelah itu, Tanteku yang kupanggil dengan nama Mamak Di akan mengantarku ke
rumah Bude. Sungguh perjuangan untuk bertemu dengannya.
Hal yang menurutku paling
nelangsa di masa kecilku adalah ketika aku ingin minum susu. Ekonomi keluargaku saat itu memanglah sulit.
Di saat aku menyatakan keinginanku itu, Bapak hanya bisa memberikanku air gula
merah dan tajin. Ia pun menjanjikan keinginanku itu akan ditepatinya di lain
waktu. Aku kecil pun belajar nrimo
terhadap keadaan. Hingga pada suatu saat akhirnya Mamak kembali ke rumah kami.
Betapa senangnya ada Ibu yang kembali mengurusi kami.
Tak lama setelah kebahagiaan itu
datang, mendung kesedihan pun datang lagi. Bapak harus ke Jawa karena Kakek
sakit parah. Ditinggalkan oleh sosok penting kembali lagi kurasakan. Aku takut
Bapak akan lama pergi meninggalkanku. Aku kecil memang susah pisah darinya
setelah pernah ditinggal Mamak. Setelah kepergiannya, Aku setiap hari
menanyakan kapan Bapak pulang. Gara-gara itu, terkadang tetanggaku suka
membuatku menangis. Mereka meledekku, dan mengatakan bahwa Bapakku tidak akan
pulang karena punya istri baru di Jawa. Aku benci dengan perkataan mereka,
walaupun itu hanya candaan.
Dalam penantian datangnya Bapak,
Aku sempat sakit. Sakit karena rindu dan ketakutanku. Darah pun keluar dari
telinga, hidung, gusi, dan bibirku. Badanku panas. Mamak pun bingung dan hanya
bisa meyakinkanku bahwa Bapak akan segera pulang. Setelah sembuh dari sakitku,
tiap pagi dan sore Aku berdiri ataupun jongkok di pinggir perempatan jalan,
menunggu sosok yang kurindu datang. Tak jarang ketika ada teman Bapak lewat,
kuajak ia menemaniku. Ah, betapa konyolnya Aku. Bahkan jika kudengar ada suara
bus di perempatan jalan, Aku langsung lari. Berharap Bapakku yang datang, dan
hasilnya lagi-lagi nihil.
Hingga pada akhirnya saat yang
kutunggu-tunggu datang, sosok itu turun dari Bus. Bapak yang kurindukan datang.
Aku lari kepadanya, dan Ia pun langsung menggendongku. Aku menangis sekeras
yang kumampu, melampiaskankan kerinduanku padanya. “Nda usah nangis, Nduk.
Nanti Bapak pergi lagi lho kalau kamu nda
mau berhenti nangis,” tuturnya padaku. “Aku kangen Bapak. Jangan pergi jauh
lagi,” timpalku dengan sesenggukan.
Dari secuil cerita hidupku ini,
Aku menyatakan bahwa rindu adalah kawan terjahat yang kupunya. Menyiksa batinku
sesukanya. Namun dibalik kejahatannya, rindu mengajarkanku sabar, ikhlas, dan
berjuang menegakkan komitmen. Terimakasih kepada Yang Maha Pengasih, karena
telah menitipkan rasa rindu padaku.
sekedar ingin menulis saja
Selasa, 13 Januari 2015
Riyami
Tidak ada komentar:
Posting Komentar