Minggu, 27 September 2015

Sampah Pikiran

Untuk kawanku, dimanapun kalian berpijak hari ini. Andai saja jika ungkapan perasaan ini dapat menuai sebuah balas.

Kawan, pernahkah kalian merasakan seperti apa yang kurasakan?. Apa yang akan kalian lakukan saat mengalami sebuah kekosongan?. Kali ini sangat terasa sekali, rasa sakit itu. Meninggalkan selalu berpasangan dengan ditinggalkan. Begitu pula dengan perjumpaan yang selalu bergandengan dengan perpisahan. Itulah konsekuensi dari kausalitas, semua saling mempengaruhi. Sungguh memilukan. Keduanya bisa menimbulkan luka.

Aku tertegun, kembali mengingat-ingat sampah pikiran yang pernah muncul di kepalaku. Masih kuingat, aku pernah berpikir bagaimana rasanya meninggalkan dan ditinggalkan. Makin sering kupikirkan, hal itu akhirnya terjadi padaku. Dulu di masa SMA, aku selalu berpikir bagaimana rasanya jika sekolah dan hidup jauh dari orang tua. Dan hal ini terjadi, aku kuliah jauh dari bapak dan ibuku.

Setelah beberapa waktu aku kadang lupa ada mereka yang menantiku pulang. Yah, ini karena kami jarang berkomunikasi. Maklum saja, kami keluarga yang sangat hemat mengeluarkan uang untuk beli pulsa. Rupiah hanya cukup buat makan. Namun, ada satu masa sangat merindukan mereka, apa yang sedang mereka lakukan, sedang makan apa mereka, dan apakah mereka baik-baik saja?.

Khawatir, tentu pernah datang. Sebulan lalu, mereka mengabari bahwa mereka makan sagu atau pun ubi sebagai pengganti beras mereka yang habis. Di sini kadang aku makan enak dan lupa untuk bersyukur. Untuk itulah semenjak mendengar hal itu, aku selalu berusaha untuk menghabiskan makananku. Satu yang tertanam di benakku, jangan meninggalkan (membuang) makanan. Sebab jika engkau lakukan itu, entah kapan akan terjadi suatu saat dimana kau ditinggalkan oleh makanan. Hal ini sudah pernah kurasakan, kawanku.

Kembali ke pemikiran meninggalkan dan ditinggalkan, beberapa waktu lalu aku juga pernah memikirkan bagaimana rasanya jika teman kamar asrama sudah pindah. Dan malam ini, kutemukan jawabannya. Aku mengalami sebuah kekosongan, kehampaan. Kamar yang dulunya terasa sempit, kini lebih lapang. Barang-barang yang dulu ada di tempatnya, sekarang sudah lenyap dibawa pergi si empunya. Tak ada lagi teman bicara. Sunyi dan menyedihkan, ketika kenangan saat tinggal bersama menyeruak keluar dari memori pada saat yang bersamaan. Hanya bisa menitikkan air mata, untuk meluapkan emosi agar tak terbendung dan semakin menyakiti perasaan.

Kawan, aku tak ingin terus-terusan terjebak dalam sampah pikiran-pikiran macam ini. Sungguh, aku takut menjadi vektor atau pun terjangkit penyakit akibatnya. Memikirkannya saja sudah membuatku miris. Aku terlalu banyak membayangkan hal yang buruk terjadi padaku dan orang lain. Hingga aku sering merasa sumpek. Bagaimana caranya membuang pikiran-pikiran kotor dan jahat itu, kawan?. Aku hingga saat ini masih memikirkan caranya. Ya, aku lah yang harus mengendalikan pikiranku, bukan pikiran yang mengendalikanku.

Dalam proses meninggalkan dan ditinggalkan aku mulai belajar. Bahwa kedua hal itu memberikan hikmah bagiku. Aku masih harus terus belajar untuk menerima dan menghadapi kenyataan. Toh sekarang meninggalkan dan ditinggalkan, bagiku hanyalah perpindahan dan perbedaan tempat kita berpijak saja. Kita masih bisa menjalin sebuah hubungan baik.
Lega sudah menuliskan kecamuk yang menggerogoti hati dan pikiran.
Kini tinggallah rumah kenangan pikiran.



Ramsis, 27 September 2015, 22:07 wita


Ditulis saat mengenang kebersamaan dan menangisi ingatan (meninggalkan dan ditinggalkan)

Riyami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar