Kita semua tentu pernah mendengar mitos
mengenai suatu tempat ataupun benda. Misalnya saja, kita akan mendapatkan sial
jika menebang pohon di hutan adat. Kenyataannya, hal tersebut bisa saja
terjadi. Namun, itu tak serta merta mampu menjadikan mitos sebagai alat untuk
mencegah kerusakan, dalam hal ini alam. Ada hal yang perlu dipikirkan secara
mendalam dari semua itu.
Pernahkah kita memikirkan lebih jauh
mengenai kebenaran suatu mitos itu?. Bisa saja dalam contoh tersebut, seseorang
mendapatkan kesialan bukan karena kekuatan gaib, sebagai penyebabnya.
Melainkan, ada hal dalam dirinya yang mengalami ketidakseimbangan (disekuilibrium)
atau akhirnya Si Penebang pohon itu tiba-tiba menyadari bahwa hal yang
dilakukannya itu salah. Akibatnya, ia menyesal dan terus memikirkannya. Hingga
perasaan itu berimbas pada semua hal yang dilakukannya, maka timbullah
kesialan. Tapi sekali lagi, untuk mencapai sebuah kesimpulan kita butuh
perenungan mendalam. Kira-kira seperti itulah salah satu pesan yang ingin
disampaikan buku ini.
Bagian awal buku cukup menarik. Kisah masa
kecil, sebuah penyesalan karena tak mampu menyelamatkan sebatang Pohon Ketapang
yang benar-benar dialami penulis. Pengalaman itu kemudian menjadi titik tolak
pemikirannya dalam membahas ekologi, yang diluaskan melalui pandangannya terhadap
fenomena yang terjadi kini.
Karya Saras Dewi ini, mengulas tentang hal
yang mendasar dari pentingnya sebuah perenungan
filosofis terhadap kerusakan alam yang sedang terjadi. Dosen Filsafat Universitas
Indonesia ini ingin mengurai ketidakjelasan kontradiksi kepentingan manusia
dalam konservasi alam, juga distingsi atau perbedaan masalah subjek dan objek dalam
hubungan antara manusia dan alam.
Buku bergenre filsafat lingkungan hidup
ini, memberikan analisis yang radikal terhadap relasi manusia dengan alam. Sebagai
pembuktian bahwa perenungan filosofis penting dalam mengatasi masalah
kontemporer, kerusakan alam. Karya setebal 172 halaman ini mencoba mematahkan
anggapan, bahwa sains dengan semua kepraktisannya dapat memberikan solusi
terhadap masalah lingkungan hidup saat ini.
Pelantun lagu Lembayung Bali ini menawarkan
metode Ekofenomenologi sebagai alat pengupas disekuilibrium relasi manusia dan
alam. Metode tersebut diulas melalui beberapa teori ekologi dan filsuf
lingkungan, diantaranya yaitu: teori “Etika Tanah” Aldo Leopold, fenomenologi Edmund
Husserl, relasi subjek-objek Merleau-Ponty, dan Konsep Heideggerian.
Dalam bukunya, Saras juga menilai bahwa
etika lingkungan tidak sanggup mencapai akar permasalahan pokok. Bahkan kerap
menyulitkan dalam menjelaskan kepentingan manusia di dalam kesatuan hidup bersama alam. Pendekatan
etika lingkungan masih terbentur pada tema aturan, kebiasaan, serta anggapan
baik ataupun buruk menyangkut alam. Sedangkan pada metode ekofenomenologi (fenomenologi
lingkungan), sudah menyentuh persoalan bagaimana memahami ekosistem sebagai
fenomena, bukan objek yang terlepas dari subjek, tetapi fenomena yang
mensyaratkan adanya intensionalitas relasi semua unsur di dalamnya.
Sebagai buku filsafat, buku ini cukup
memberikan pemahaman yang utuh tentang tinjauan disekulibrium relasi manusia
dengan alam. Suatu ‘ketidakharmonisan,’ yang terjadi karena manusia gagal
memahami substansi hubungan dirinya dengan alam. Seperti penjelasan teori
Martin Heiddegger, bahwa sebenarnya manusia tidak hanya hidup selintas lalu di
dalam dunianya. Tetapi ia harus menjadi ‘pemukim’
yang hidup harmonis dan damai dengan alam.
Sayangnya, pada bagian pertengahan
buku pembaca akan merasakan adanya pengambangan wacana. Barangkali pembahasan
fenomenologi memang harus demikian adanya. Penjelasan mengenai teori
subjek-objek pun terasa sangat panjang. Tepatnya, butuh waktu yang tidak
sedikit untuk memahami isi buku ini.
Di bagian penutup, kita akan disuguhkan
semacam rangkuman dari seluruh ide yang ada pada buku. Namun kesannya, ide-ide
itu hanya untuk menawarkan metode penelusuran akar dan titik temu masalah. Tidak
terlalu menekankan sikap dalam solusi permasalahan ketidakseimbangan hubungan manusia
dengan alam.
Secara keseluruhan, dari penggunaan
diksi yang cukup rumit nampaknya pembaca harus belajar untuk membuat glosarium
sendiri. Agar bisa lebih memahami rangkaian kata yang ada. Terlepas dari
kekurangannya, karya perempuan kelahiran 1983 silam ini menunjukkan riset yang
mendalam. Terlihat dari pencantuman referensi yang ada pada daftar pustakanya.
Pesan lain yang menarik dari Saras
Dewi adalah: “bahwa peristiwa bukanlah kejadian biasa, dan perjumpaan seorang manusia dengan alam
adalah suatu peristiwa, sesuatu yang bermakna.” Selamat membaca!.
Riyami
Judul Buku : Ekofenomenologi
Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Penulis : Saras Dewi
Catakan : I, Maret 2015
Tebal : xiv + 172 halaman, 14 x 20,3 cm
Penerbit : Marjin Kiri
Tidak ada komentar:
Posting Komentar