Minggu, 10 Januari 2016

Antara Kita dan Fenomena Alam

Kita semua tentu pernah mendengar mitos mengenai suatu tempat ataupun benda. Misalnya saja, kita akan mendapatkan sial jika menebang pohon di hutan adat. Kenyataannya, hal tersebut bisa saja terjadi. Namun, itu tak serta merta mampu menjadikan mitos sebagai alat untuk mencegah kerusakan, dalam hal ini alam. Ada hal yang perlu dipikirkan secara mendalam dari semua itu.
Pernahkah kita memikirkan lebih jauh mengenai kebenaran suatu mitos itu?. Bisa saja dalam contoh tersebut, seseorang mendapatkan kesialan bukan karena kekuatan gaib, sebagai penyebabnya. Melainkan, ada hal dalam dirinya yang mengalami ketidakseimbangan (disekuilibrium) atau akhirnya Si Penebang pohon itu tiba-tiba menyadari bahwa hal yang dilakukannya itu salah. Akibatnya, ia menyesal dan terus memikirkannya. Hingga perasaan itu berimbas pada semua hal yang dilakukannya, maka timbullah kesialan. Tapi sekali lagi, untuk mencapai sebuah kesimpulan kita butuh perenungan mendalam. Kira-kira seperti itulah salah satu pesan yang ingin disampaikan buku ini.
Bagian awal buku cukup menarik. Kisah masa kecil, sebuah penyesalan karena tak mampu menyelamatkan sebatang Pohon Ketapang yang benar-benar dialami penulis. Pengalaman itu kemudian menjadi titik tolak pemikirannya dalam membahas ekologi, yang  diluaskan melalui pandangannya terhadap fenomena yang terjadi kini.
Karya Saras Dewi ini, mengulas tentang hal yang mendasar dari pentingnya sebuah perenungan filosofis terhadap kerusakan alam yang sedang terjadi. Dosen Filsafat Universitas Indonesia ini ingin mengurai ketidakjelasan kontradiksi kepentingan manusia dalam konservasi alam, juga distingsi atau perbedaan masalah subjek dan objek dalam hubungan antara manusia dan alam.
Buku bergenre filsafat lingkungan hidup ini, memberikan analisis yang radikal terhadap relasi manusia dengan alam. Sebagai pembuktian bahwa perenungan filosofis penting dalam mengatasi masalah kontemporer, kerusakan alam. Karya setebal 172 halaman ini mencoba mematahkan anggapan, bahwa sains dengan semua kepraktisannya dapat memberikan solusi terhadap masalah lingkungan hidup saat ini.
Pelantun lagu Lembayung Bali ini menawarkan metode Ekofenomenologi sebagai alat pengupas disekuilibrium relasi manusia dan alam. Metode tersebut diulas melalui beberapa teori ekologi dan filsuf lingkungan, diantaranya yaitu: teori “Etika Tanah” Aldo Leopold, fenomenologi Edmund Husserl, relasi subjek-objek Merleau-Ponty, dan Konsep Heideggerian.
Dalam bukunya, Saras juga menilai bahwa etika lingkungan tidak sanggup mencapai akar permasalahan pokok. Bahkan kerap menyulitkan dalam menjelaskan kepentingan manusia  di dalam kesatuan hidup bersama alam. Pendekatan etika lingkungan masih terbentur pada tema aturan, kebiasaan, serta anggapan baik ataupun buruk menyangkut alam. Sedangkan pada metode ekofenomenologi (fenomenologi lingkungan), sudah menyentuh persoalan bagaimana memahami ekosistem sebagai fenomena, bukan objek yang terlepas dari subjek, tetapi fenomena yang mensyaratkan adanya intensionalitas relasi semua unsur di dalamnya.
Sebagai buku filsafat, buku ini cukup memberikan pemahaman yang utuh tentang tinjauan disekulibrium relasi manusia dengan alam. Suatu ‘ketidakharmonisan,’ yang terjadi karena manusia gagal memahami substansi hubungan dirinya dengan alam. Seperti penjelasan teori Martin Heiddegger, bahwa sebenarnya manusia tidak hanya hidup selintas lalu di dalam dunianya. Tetapi ia harus  menjadi ‘pemukim’ yang hidup harmonis dan damai dengan alam.
            Sayangnya, pada bagian pertengahan buku pembaca akan merasakan adanya pengambangan wacana. Barangkali pembahasan fenomenologi memang harus demikian adanya. Penjelasan mengenai teori subjek-objek pun terasa sangat panjang. Tepatnya, butuh waktu yang tidak sedikit untuk memahami isi buku ini.
            Di bagian penutup, kita akan disuguhkan semacam rangkuman dari seluruh ide yang ada pada buku. Namun kesannya, ide-ide itu hanya untuk menawarkan metode penelusuran akar dan titik temu masalah. Tidak terlalu menekankan sikap dalam solusi permasalahan ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam.
            Secara keseluruhan, dari penggunaan diksi yang cukup rumit nampaknya pembaca harus belajar untuk membuat glosarium sendiri. Agar bisa lebih memahami rangkaian kata yang ada. Terlepas dari kekurangannya, karya perempuan kelahiran 1983 silam ini menunjukkan riset yang mendalam. Terlihat dari pencantuman referensi yang ada pada daftar pustakanya.
            Pesan lain yang menarik dari Saras Dewi adalah: “bahwa peristiwa bukanlah kejadian biasa,  dan perjumpaan seorang manusia dengan alam adalah suatu peristiwa, sesuatu yang bermakna.” Selamat membaca!.
Riyami
Judul Buku    : Ekofenomenologi
Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Penulis            : Saras Dewi
Catakan         : I, Maret 2015
Tebal              : xiv + 172 halaman, 14 x 20,3 cm

Penerbit          : Marjin Kiri

Tidak ada komentar:

Posting Komentar