Minggu, 10 Januari 2016

Luka di Tanah Serambi Mekah


“Kemanusiaan— napas hidup dari cerita— tampil untuk mengingatkan praktik ketidakadilan dari relasi kuasa dan otoritas yang kerap menghamba pada teror dan senjata,” kira-kira seperti itu salah satu kalimat dari pengantar penerbit buku ini.
Disadari atau tidak, banyak karya-karya sastra yang lahir terilhami dari suatu tragedi kemanusiaan. Jika Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru. Maka, Azhari hadir dengan Perempuan Pala dan Serumpun Kisah di Negeri Bau dan Bunyi. Ya, buku kumpulan cerpen ini lahir ke pembaca dari tragedi kemanusiaan yang berlatar di Aceh. Isinya bukan mengenai aturan-aturan ketat “syariah Islam” yang belakangan ini sempat menghebohkan. Melainkan mengenai luka, penantian, penderitaan, kehilangan dan beberapa tentang kesedihan perempuan-perempuan Aceh di masa perang. Begitu mengharukan, namun terbaca upaya untuk menguatkan.
Terdiri dari 134 halaman, buku ini memuat 18 cerpen yang sebagian besar pernah terbit di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos dan Media Indonesia. Benar adanya bahwa 13 dari 18 kisah fiksi di buku ini, pernah  terbit dalam kumpulan cerpen berjudul Perempuan Pala (AKY Press, Juli 2004). Namun kali ini, Buku Mojok menerbitkannya dengan tambahan lima cerpen yang elegan dengan pengantar oleh Prof James T Siegel (Guru Besar Antropologi dan Studi Asia Tenggara Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat).
Di antara 18 cerpen yang dimuat, terdapat enam cerpen yang ditulis sangat pendek, yaitu: Demi Kegembiraan Para Diplomat, Ikan dari Langit, Pengunjung, Menggambar Pembunuh Bapak, Cermin Mao Tse-tung I, dan Memoar. Sangat mengesankan, walaupun dengan format yang sangat pendek tidak ada kekosongan yang nampak dalam cerita. Suatu pertaruhan eksperimentatif yang dimenangkan oleh penulis.
Kumpulan cerita pendek ini tak sepenuhnya fiksi. Tulisan-tulisan pria Aceh ini bagaikan serangkaian catatan yang teramat hidup. Struktur dan alur cerita dalam buku ini sederhana dan terang benderang.
“Air Raya,” adalah salah satu bagian kumpulan cerpen ini yang terbit beberapa bulan sebelum Tsunami menghantam Aceh. Di dalamnya berkisah tentang air bah yang menggulung sebuah kota. Dan seperti sebuah mimpi yang jadi nyata. Tsunami benar-benar melabrak wilayah Sang Cerpenis dan membuat ia kehilangan keluarganya.
Tak ada upaya pencanggihan cara bercerita maupun pendahsyatan gagasan cerita. Gagasan cerita yang wajar dan latar ceritanya adalah kekuatan utama yang membuat pembaca betah mengikuti, dan bisa “menyaksikan” peristiwa-peristiwa brutal dan mengharukan seakan langsung di hadapannya sendiri. Peristiwa menggugah rasa kemanusiaan terhadap rentetan peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Aceh beserta pergulatan batin masyarakatnya.
Jika ingin mengetahui keadaan Aceh pada masa itu. Di dalam buku ini, kita akan menemukan sisi lain Tanah Rencong ini. Dengan segala luka dan legendanya, serta  kenangan yang gagal dihapuskan.
Pria yang tergabung dalam Komunitas Tikar Pandan ini, bercerita sekaligus berkabar tentang tanah kelahirannya. Tak hanya menyuguhkan kisah-kisah konflik penuh kekerasan. Beberapa khazanah legenda Tanah Serambi Mekah pun berhasil diolahnya menjadi cerpen. Dan juga masih untuk bekisah tentang: luka. Ini tergambar dari dua cerpen dalam buku ini, “Perempuan Pala” dan “Pengunjung”.  
Dalam Perempuan Pala, peraih Free Word Award 2005 ini menjelajahi legenda naga dan lelaki tua. Sebuah cerita asal usul terjadinya Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Sedangkan pada cerpen Pengunjung, Azhari merujuk pada legenda Pengantin Batu, dari Aceh Tengah. Ia berhasil meramu hal yang bersifat lokal ke dalam karyanya, tradisi lisan Aceh.
Hal itu mengungkapkan sisi lain Ujung barat kepulauan Indonesia ini. Aceh bukan melulu konflik. Aceh memiliki sisi “kehidupan pribadi” sendiri, yang sudah terpelihara berabad-abad di tengah kecamuk penindasan dan ancaman aneka kekejaman yang menimpanya dalam waktu yang tak singkat.
Dalam kumpulan cerpen ini, sosok ibu atau bapak pun banyak ditempatkan dalam sebagian besar gagasan cerita. Nampaknya, ini dimaksudkan sebagai tanda wujud kekerabatan yang paling dekat dengan manusia untuk menjadi dewasa. Sebagai tempat dalam menggali dan menuai nilai kehidupan bersama masyarakat yang melahirkannya. Mereka adalah simbol pelindung, yang jika mereka tak ada akan banyak calon manusia dewasa kehilangan sumber daya untuk mengisi dan membentuk dirinya.
Cerita buku yang bersampul agak horor ini, mampu memberikan kepada kita gambaran menyentuh tentang tragedi yang banyak menimpa lelaki dewasa di Aceh. Baik yang terbunuh maupun hilang. Cerita-cerita tersebut secara samar mengatakan tentang hilangnya atau terputusnya tali antar generasi lewat cara yang sangat memilukan. Kesemuanya mampu memunculkan bibit dendam dan juga percik rindu, yang menoreh keperihan pada batin manusia sejak usia dini. Sebuah bom waktu yang siap meledak di hari kemudian.
Secara keseluruhan, buku ini adalah buku bacaan yang baik untuk orang-orang yang minat dengan isu-isu lokal terkait kemanusiaan. Terlepas dari beberapa kosakata Aceh yang agak membingungkan di dalamnya, diksi-diksi segarnya dapat menjadi referensi bacaan bagi para penulis pemula. Selamat Membaca!.

Riyami
Judul Buku: Perempuan Pala dan Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi
Penulis: Azhari
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: xviii + 134; 21cmx14cm

Cetakan Pertama: 2015 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar