“Kemanusiaan—
napas hidup dari cerita— tampil untuk mengingatkan praktik ketidakadilan dari
relasi kuasa dan otoritas yang kerap menghamba pada teror dan senjata,”
kira-kira seperti itu salah satu kalimat dari pengantar penerbit buku ini.
Disadari atau tidak, banyak karya-karya
sastra yang lahir terilhami dari suatu tragedi kemanusiaan. Jika Pramoedya
Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru. Maka, Azhari hadir dengan Perempuan
Pala dan Serumpun Kisah di Negeri Bau dan Bunyi. Ya, buku kumpulan cerpen ini lahir
ke pembaca dari tragedi kemanusiaan yang berlatar di Aceh. Isinya bukan
mengenai aturan-aturan ketat “syariah Islam” yang belakangan ini sempat
menghebohkan. Melainkan mengenai luka, penantian, penderitaan, kehilangan dan beberapa
tentang kesedihan perempuan-perempuan Aceh di masa perang. Begitu mengharukan,
namun terbaca upaya untuk menguatkan.
Terdiri dari 134 halaman, buku ini memuat
18 cerpen yang sebagian besar pernah terbit di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos dan
Media Indonesia. Benar adanya bahwa 13 dari 18 kisah fiksi di buku ini,
pernah terbit dalam kumpulan cerpen
berjudul Perempuan Pala (AKY Press, Juli 2004). Namun kali ini, Buku Mojok
menerbitkannya dengan tambahan lima cerpen yang elegan dengan pengantar oleh
Prof James T Siegel (Guru Besar Antropologi dan Studi Asia Tenggara Universitas
Cornell, Ithaca, Amerika Serikat).
Di antara 18 cerpen yang dimuat, terdapat enam
cerpen yang ditulis sangat pendek, yaitu: Demi Kegembiraan Para Diplomat, Ikan
dari Langit, Pengunjung, Menggambar Pembunuh Bapak, Cermin Mao Tse-tung I, dan
Memoar. Sangat mengesankan, walaupun dengan format yang sangat pendek tidak ada
kekosongan yang nampak dalam cerita. Suatu pertaruhan eksperimentatif yang
dimenangkan oleh penulis.
Kumpulan cerita pendek ini tak sepenuhnya fiksi.
Tulisan-tulisan pria Aceh ini bagaikan serangkaian catatan yang teramat hidup. Struktur
dan alur cerita dalam buku ini sederhana dan terang benderang.
“Air Raya,” adalah salah satu bagian
kumpulan cerpen ini yang terbit beberapa bulan sebelum Tsunami menghantam Aceh.
Di dalamnya berkisah tentang air bah yang menggulung sebuah kota. Dan seperti
sebuah mimpi yang jadi nyata. Tsunami benar-benar melabrak wilayah Sang
Cerpenis dan membuat ia kehilangan keluarganya.
Tak ada upaya pencanggihan cara bercerita
maupun pendahsyatan gagasan cerita. Gagasan cerita yang wajar dan latar ceritanya
adalah kekuatan utama yang membuat pembaca betah mengikuti, dan bisa
“menyaksikan” peristiwa-peristiwa brutal dan mengharukan seakan langsung di hadapannya
sendiri. Peristiwa menggugah rasa kemanusiaan terhadap rentetan peristiwa
tragedi kemanusiaan yang terjadi di Aceh beserta pergulatan batin
masyarakatnya.
Jika ingin mengetahui keadaan Aceh pada
masa itu. Di dalam buku ini, kita akan menemukan sisi lain Tanah Rencong ini. Dengan
segala luka dan legendanya, serta kenangan yang gagal dihapuskan.
Pria yang tergabung dalam Komunitas Tikar
Pandan ini, bercerita sekaligus berkabar tentang tanah kelahirannya. Tak hanya
menyuguhkan kisah-kisah konflik penuh kekerasan. Beberapa khazanah legenda
Tanah Serambi Mekah pun berhasil diolahnya menjadi cerpen. Dan juga masih untuk
bekisah tentang: luka. Ini tergambar dari dua cerpen dalam buku ini, “Perempuan
Pala” dan “Pengunjung”.
Dalam Perempuan Pala, peraih Free Word
Award 2005 ini menjelajahi legenda naga dan lelaki tua. Sebuah cerita asal usul
terjadinya Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Sedangkan pada cerpen
Pengunjung, Azhari merujuk pada legenda Pengantin Batu, dari Aceh Tengah. Ia
berhasil meramu hal yang bersifat lokal ke dalam karyanya, tradisi lisan Aceh.
Hal itu mengungkapkan sisi lain Ujung
barat kepulauan Indonesia ini. Aceh bukan melulu konflik. Aceh memiliki sisi
“kehidupan pribadi” sendiri, yang sudah terpelihara berabad-abad di tengah
kecamuk penindasan dan ancaman aneka kekejaman yang menimpanya dalam waktu yang
tak singkat.
Dalam kumpulan cerpen ini, sosok ibu atau
bapak pun banyak ditempatkan dalam sebagian besar gagasan cerita. Nampaknya,
ini dimaksudkan sebagai tanda wujud kekerabatan yang paling dekat dengan
manusia untuk menjadi dewasa. Sebagai tempat dalam menggali dan menuai nilai
kehidupan bersama masyarakat yang melahirkannya. Mereka adalah simbol pelindung,
yang jika mereka tak ada akan banyak calon manusia dewasa kehilangan sumber daya
untuk mengisi dan membentuk dirinya.
Cerita buku yang bersampul agak horor ini,
mampu memberikan kepada kita gambaran menyentuh tentang tragedi yang banyak
menimpa lelaki dewasa di Aceh. Baik yang terbunuh maupun hilang. Cerita-cerita tersebut
secara samar mengatakan tentang hilangnya atau terputusnya tali antar generasi
lewat cara yang sangat memilukan. Kesemuanya mampu memunculkan bibit dendam dan
juga percik rindu, yang menoreh keperihan pada batin manusia sejak usia dini.
Sebuah bom waktu yang siap meledak di hari kemudian.
Secara keseluruhan, buku ini adalah buku
bacaan yang baik untuk orang-orang yang minat dengan isu-isu lokal terkait
kemanusiaan. Terlepas dari beberapa kosakata Aceh yang agak membingungkan di
dalamnya, diksi-diksi segarnya dapat menjadi referensi bacaan bagi para penulis
pemula. Selamat Membaca!.
Riyami
Judul
Buku: Perempuan Pala dan Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi
Penulis:
Azhari
Penerbit:
Buku Mojok
Tebal:
xviii + 134; 21cmx14cm
Cetakan
Pertama: 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar