Setelah beberapa tulisan esainya dimuat
dalam kumpulan literasi Tempo Makassar dalam buku “Esai Tanpa Pagar”, kali ini Alwy
Rachman menyatukan esai-esai pilihannya menjadi sebuah buku “Ruang Sadar Tak
Berpagar”. Dalam buku ini, terdapat enam ilustrasi yang mengelompokkan tema utama
esai. Keenam ilustrasi itu, mengingatkan pembaca akan banyaknya topik peristiwa
yang ditulis. Namun, pembaca tetap diberi ruang bebas untuk mengelompokkan
sesuai dengan pemahaman pembaca.
Ilustrasi satu mengelompokkan esai dengan
tema utama menyangkut manusia dan nilai kemanusiaan. Ilustrasi dua,
menggambarkan esai dengan tema sejumlah aliran pemikiran tokoh penting, seperti
Nelson Mandela, Gus Dur, George Orwell, dan beberapa lainnya. Ilustrasi tiga, berisi
esai dengan tema utama tentang politik. Ilustrasi empat, menggambarkan esai dengan tema isu-isu pendidikan.
Ilustrasi lima, berisi esai dengan tema tragedi dan tindak kekerasan. Terakhir,
ilustrasi enam berisi esai dengan tema keadilan, bahasa, sastra, serta agama.
Sebagaimana karakter literasi, hal-hal
serius yang sedang banyak dibicarakan, atau pun yang kadang kita lewatkan dan
dianggap sepele dituliskan secara mendalam dan tajam oleh Dosen Fakultas Sastra
Unhas ini. Secara rendah hati dan menginspirasi, kemikroan sudut pandangnya terhadap
suatu peristiwa, tidak menjadi representasi kesempitan berpikir. Melainkan
berubah menjadi jalan untuk menuju kedalaman dan ketajaman dalam berpikir.
Dari pengalaman dan pengamatan yang
disaksikannya di masyarakat, ia meramu tulisannya dengan teori filsuf dan
referensi bacaannya. Kutipan-kutipan yang diambilnya dari karya sejumlah tokoh
pemikir nasional maupun internasional, ahli mitologi, novelis, dan dari beberapa sumber lainnya, menunjukkan
kedalaman penulis dalam menganalisa suatu peristiwa. Sekaligus, menunjukkan
ruang pikir alwy yang luas dan konsistensinya untuk setia pada peristiwa.
Persoalan menyangkut manusia dan
kemanusiaan, “Manusia: Pantomim tanpa Misteri dan Idola” menjadi salah satu
esai yang mewakili kegelisahan dosen
Jurusan Sastra Inggris ini. Ia menuturkan dalam esainya, bahwa manusia
modern telah kehilangan kisahnya, sehingga menjadi manusia tanpa mitos. Suatu
kenyataan yang kita rasakan, namun terkadang kita lupa untuk menyadarinya.
Betapa tidak, sekarang fabel, legenda tentang suatu tempat dan tokoh, serta
mitos sudah tergerus. Makna dan kebajikan redup, manusia tak lagi belajar dari
hal itu.
Setebal 204 halaman, isu-isu sosial diangkat dengan jeli dalam buku
ini. Baik isu yang sedang booming,
maupun isu-isu sosial yang kadang dianggap remeh-temeh. Hal ini menunjukkan bahwa penulis memiliki
kepekaan hati yang besar, terhadap segala hal yang sedang terjadi di
lingkungannya.
Setiap tulisan pasti memiliki
identitasnya. Yang menjadi ciri khas dalam karya ini adalah penggunaan bahasa
asing, yang tidak dipadankan ke dalam Bahasa Indonesia. Misalnya saja kata scholar, psyche,cyber, dan beberapa kata
lainnya. Mengapa tidak dipadankan?. Ini dikarenakan penulis menganggap bahwa
kata-kata tersebut tidak ada padanan katanya dalam Bahasa Indonesia. Tak hanya
identitas tulisan, identitas diri penulis kelahiran Makassar12 Mei 1954 ini,
juga tercermin dalam kutipan puitika profetik Bugis masa lampau yang ia
tambahkan ke dalam tulisannya.
Di akhir tiap esainya terdapat kesimpulan
yang mengajak kita untuk berpikir dan menanyakan kembali pada diri kita. Jadi
pembaca dituntut untuk mendekatkan pemahamannya terhadap apa yang ada di dalam
esai. Selain itu, kumpulan esai ini punya niat dan punya manfaat secara sosial,
karena pada umumnya menyentuh kepentingan banyak orang. Jarang ada buku seperti
ini.
Buku yang inspiratif ini, dapat dijadikan sebagai
bacaan segar yang bisa dinikmati utamanya oleh kalangan penyuka isu-isu sosial
dan mahasiswa yang gemar membaca. Bagi para penulis pemula, apalagi yang ingin
membuat esai, buku ini dapat dijadikan sebagai referensi bacaan. Pemilihan diksinya
yang tak biasa, bisa menambah perbendaharaan kata yang kita miliki.
Sayangnya, buku ini tidak cocok dibaca
untuk kalangan muda dan tidak semua
orang mengerti dengan bahasa yang tinggi dan perbendaharaan katanya terkadang jarang
kita gunakan. Sehingga, untuk orang awam yang baru pertama kali membacanya,
harus berulang-ulang membaca untuk bisa paham isinya.
Terlepas dari semua itu, buku ini
merupakan refleksi kemanusiaan, empati, dan passion.
Pesan khusus yang ingin disampaikan penulis, utamanya kepada kaum muda saat ini
agar hendaknya menghormati setiap peristiwa. Karena dibalik peristiwa yang
terjadi, terdapat kebenaran yang hakiki. Kebenaran akan sulit dimengerti tanpa mengikuti
peristiwanya. Kebenaran sembunyi dibalik lipatan-lipatan peristiwa. Maka,
setialah pada peristiwa.
Riyami
Judul Buku : Ruang Sadar Tak Berpagar
Penulis : Alwy Rachman
Penerbit : Nala Cipta Litera
Tebal : x+ 204 halaman;
14cmx21cm
Cetakan Pertama : Juni 2015
Tidak ada komentar:
Posting Komentar