Oleh: Riyami
Seseorang lupa menggosok giginya sebelum
tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya
supaya terbuka
Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa
kembali
Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu
terlalu berlebih-lebihan
(Sajak
Sikat Gigi Karya Yudhistira A.N.M
Massardi, 1974)
Saya menulis ini bukan untuk
mengkaji sajak. Karena pada dasarnya, saya tidak tahu banyak terkait karya
sastra. Ini adalah keinginan untuk mengenang sakit gigi yang saya derita
beberapa hari lalu. Saat itu, di sela kesakitan yang menyempitkan syaraf
kebugaran, saya masih sempat untuk mengakses internet. Berharap memperoleh
informasi untuk mengatasi rasa nyeri tak tertahankan yang mendera, sebelum ke
dokter gigi.
Alih-alih membuka tautan yang berisi
tips atasi sakit gigi, saya malah membuka tautan yang memuat Sajak Sikat Gigi.
Terkesan, itulah yang saya rasakan saat mulai membacanya. Bahasanya sungguh polos
menurutku, langsung tanpa embel-embel riasan metafora dan kata-kata njlimet yang biasanya ditemui dalam
puisi. Saya menyukainya.
Karya itu menyajikan komedi yang langsung
menohok batinku. Seolah menyindirku yang kadang khilaf atau bisa dibilang
kadang malas, sering melewatkan ritual menggosok gigi sebelum tidur. Dan
kudapatlah ganjarannya, aku sakit gigi. Dan bukannya bermimpi tentang sikat
gigi yang menggosok-gosok mulutku agar terbuka, seperti dalam sajak itu. Namun
mimpiku lain, gigi belakangku berlubang dan nampak mengerikan, gigi itu tanggal
dari gusiku. Mimpi buruk!.
Muncul banyak interpretasi setelah bangun
dari mimpi itu. Aku menganggapnya terjadi akibat pengaruh kekhilafanku karena
tak menyikat gigi ataupun karena sakit gigi yang tengah kuderita. Di sisi lain
aku juga teringat cerita Ibuku, bahwa jika bermimpi ada gigi yang tanggal, maka
itu pertanda ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Seperti dalam film Final Destination,
mungkin mimpi juga bisa dikatakan sebagai bagian pertanda mekanisme pertahanan diri
manusia dari bahaya. Dengan mimpi seseorang, orang lainnya diingatkan pada bahaya
yang akan datang. Bisa dikaitkan juga ke dalam konteks spriritual, bahwa Yang
Maha Kuasa memberikan mimpi kepada salah seorang makhluk-Nya, sebagai cara untuk memberi peringatan maupun kabar gembira
kepada yang lainnya.
Paparan lain muncul dari teori
psikoanalisa, bahwa mimpi disebut sebagai wujud dari kehendak alam bawah sadar
kita. Keinginan terpendam yang tak terwujud. Disebabkan faktor tertentu telah
menghalangi seseorang untuk membuatnya jadi nyata. Jadilah, mimpi menjadi wadah
pelampiasan dari keinginan terdalam sesorang yang tertunda. Akhirnya muncullah
kesadaran untuk menafsirkankan makna dari peristiwa di alam mimpi. Sebagai upaya
membandingkan pengalaman mimpi yang masih diingat dengan realitas yang memang
kongkrit terjadi. Dimana kenyataan fiksional kadang harus dipertemukan dengan
kenyataan faktual.
Lantas bisakah kita mengendalikan mimpi
saat terlelap?. Jawabannya bisa, karena aku sendiri pernah mengalaminya. Fakta
membenarkan, seseorang bisa mengendalikan mimpinya apabila ia berada pada
kondisi lucid dream (mimpi yang
jelas), yaitu keadaan ketika seseorang menyadari dirinya sedang bermimpi. Frederick
van Eeden, seorang psikolog dan ilmuwan Belanda, menjadi orang pertama yang
menggunakan istilah itu, melalui jurnalnya, “A Study of Dreams”, tahun 1913.
Ada rasa yang lain ketika kita dapat
mengalami mimpi yang jelas, yang bisa kita kendalikan. Secara sadar kita bisa
mengeksplorasinya. Namun, kenyataannya yang kualami tak seperti saat menonton
film “Inception”, besutan sutradara Christoper Nolan. Dimana aktor Leonardo D’Caprio
dan kelompoknya, dalam film tersebut mampu mengendalikan mimpi yang terhubung
satu sama lain. Mereka mampu mengorek informasi penting dari lawan mereka atau
mempengaruhi orang untuk mengambil keputusan penting. Mimpi mereka pun
berlapis-lapis, artinya ada tingkatan kedalaman mimpi atau tingkat
keterlelapan. Aku hanya bisa membayangkan, akan seperti apa jadinya jika mimpi
para pembuat kebijakan negara bisa dikendalikan ke arah mimpi-mimpi idealis
bangsa ini.
Entahlah, aku sendiri masih bingung,
apakah benar mimpi mozaik-mozaik pengalaman di kenyataan yang masih terbawa dalam
tidur kita. Ataukah mimpi melulu firasat, yang akhirnya memberikan tanda-tanda
informasi akan adanya suatu kejadian kepada seseorang. Bagiku semuanya punya
probabilitas.
Bias pikiran akibat alam khayal atau alam
mimpi masih banyak melekat dalam kehidupan sehari-hari. Kita dituntut harus
mampu membedakan apa saja yang bisa disepadankan dengan kenyataan yang terjadi,
dan apa saja yang bertentangan dengan fakta yang ada. Semua hanya agar kita tak
terjerumus dalam suatu persepsi yang berlebih-lebihan, “lebayistis” dalam
menafsirkan mimpi.
Penulis
adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah
Angkatan
2013, Fakultas Pertanian Unhas
Jumat, 14/08/15
Tidak ada komentar:
Posting Komentar