Untuk kawanku, dimanapun kalian
berpijak hari ini. Andai saja jika ungkapan perasaan ini dapat menuai sebuah
balas.
Kawan, pernahkah kalian merasakan
seperti apa yang kurasakan?. Apa yang akan kalian lakukan saat mengalami sebuah
kekosongan?. Kali ini sangat terasa sekali, rasa sakit itu. Meninggalkan selalu
berpasangan dengan ditinggalkan. Begitu pula dengan perjumpaan yang selalu
bergandengan dengan perpisahan. Itulah konsekuensi dari kausalitas, semua
saling mempengaruhi. Sungguh memilukan. Keduanya bisa menimbulkan luka.
Aku tertegun, kembali
mengingat-ingat sampah pikiran yang pernah muncul di kepalaku. Masih kuingat,
aku pernah berpikir bagaimana rasanya meninggalkan dan ditinggalkan. Makin sering
kupikirkan, hal itu akhirnya terjadi padaku. Dulu di masa SMA, aku selalu
berpikir bagaimana rasanya jika sekolah dan hidup jauh dari orang tua. Dan hal
ini terjadi, aku kuliah jauh dari bapak dan ibuku.
Setelah beberapa waktu aku kadang
lupa ada mereka yang menantiku pulang. Yah, ini karena kami jarang
berkomunikasi. Maklum saja, kami keluarga yang sangat hemat mengeluarkan uang
untuk beli pulsa. Rupiah hanya cukup buat makan. Namun, ada satu masa sangat
merindukan mereka, apa yang sedang mereka lakukan, sedang makan apa mereka, dan
apakah mereka baik-baik saja?.
Khawatir, tentu pernah datang. Sebulan
lalu, mereka mengabari bahwa mereka makan sagu atau pun ubi sebagai pengganti
beras mereka yang habis. Di sini kadang aku makan enak dan lupa untuk
bersyukur. Untuk itulah semenjak mendengar hal itu, aku selalu berusaha untuk
menghabiskan makananku. Satu yang tertanam di benakku, jangan meninggalkan
(membuang) makanan. Sebab jika engkau lakukan itu, entah kapan akan terjadi
suatu saat dimana kau ditinggalkan oleh makanan. Hal ini sudah pernah
kurasakan, kawanku.
Kembali ke pemikiran meninggalkan
dan ditinggalkan, beberapa waktu lalu aku juga pernah memikirkan bagaimana
rasanya jika teman kamar asrama sudah pindah. Dan malam ini, kutemukan
jawabannya. Aku mengalami sebuah kekosongan, kehampaan. Kamar yang dulunya terasa
sempit, kini lebih lapang. Barang-barang yang dulu ada di tempatnya, sekarang
sudah lenyap dibawa pergi si empunya. Tak ada lagi teman bicara. Sunyi dan
menyedihkan, ketika kenangan saat tinggal bersama menyeruak keluar dari memori
pada saat yang bersamaan. Hanya bisa menitikkan air mata, untuk meluapkan emosi
agar tak terbendung dan semakin menyakiti perasaan.
Kawan, aku tak ingin terus-terusan
terjebak dalam sampah pikiran-pikiran macam ini. Sungguh, aku takut menjadi
vektor atau pun terjangkit penyakit akibatnya. Memikirkannya saja sudah
membuatku miris. Aku terlalu banyak membayangkan hal yang buruk terjadi padaku
dan orang lain. Hingga aku sering merasa sumpek. Bagaimana caranya membuang
pikiran-pikiran kotor dan jahat itu, kawan?. Aku hingga saat ini masih
memikirkan caranya. Ya, aku lah yang harus mengendalikan pikiranku, bukan
pikiran yang mengendalikanku.
Dalam proses meninggalkan dan
ditinggalkan aku mulai belajar. Bahwa kedua hal itu memberikan hikmah bagiku. Aku
masih harus terus belajar untuk menerima dan menghadapi kenyataan. Toh sekarang
meninggalkan dan ditinggalkan, bagiku hanyalah perpindahan dan perbedaan tempat
kita berpijak saja. Kita masih bisa menjalin sebuah hubungan baik.
Lega sudah menuliskan kecamuk yang
menggerogoti hati dan pikiran.
Kini tinggallah rumah kenangan pikiran.
Kini tinggallah rumah kenangan pikiran.
Ramsis, 27 September
2015, 22:07 wita
Ditulis saat mengenang
kebersamaan dan menangisi ingatan (meninggalkan dan ditinggalkan)
Riyami