Minggu, 10 Januari 2016

Setialah Pada Peristiwa


Setelah beberapa tulisan esainya dimuat dalam kumpulan literasi Tempo Makassar dalam buku “Esai Tanpa Pagar”, kali ini Alwy Rachman menyatukan esai-esai pilihannya menjadi sebuah buku “Ruang Sadar Tak Berpagar”. Dalam buku ini, terdapat enam ilustrasi yang mengelompokkan tema utama esai. Keenam ilustrasi itu, mengingatkan pembaca akan banyaknya topik peristiwa yang ditulis. Namun, pembaca tetap diberi ruang bebas untuk mengelompokkan sesuai dengan pemahaman pembaca.
Ilustrasi satu mengelompokkan esai dengan tema utama menyangkut manusia dan nilai kemanusiaan. Ilustrasi dua, menggambarkan esai dengan tema sejumlah aliran pemikiran tokoh penting, seperti Nelson Mandela, Gus Dur, George Orwell, dan beberapa lainnya. Ilustrasi tiga, berisi esai dengan tema utama tentang politik. Ilustrasi empat, menggambarkan  esai dengan tema isu-isu pendidikan. Ilustrasi lima, berisi esai dengan tema tragedi dan tindak kekerasan. Terakhir, ilustrasi enam berisi esai dengan tema keadilan, bahasa, sastra, serta agama.
Sebagaimana karakter literasi, hal-hal serius yang sedang banyak dibicarakan, atau pun yang kadang kita lewatkan dan dianggap sepele dituliskan secara mendalam dan tajam oleh Dosen Fakultas Sastra Unhas ini. Secara rendah hati dan menginspirasi, kemikroan sudut pandangnya terhadap suatu peristiwa, tidak menjadi representasi kesempitan berpikir. Melainkan berubah menjadi jalan untuk menuju kedalaman dan ketajaman dalam berpikir.
Dari pengalaman dan pengamatan yang disaksikannya di masyarakat, ia meramu tulisannya dengan teori filsuf dan referensi bacaannya. Kutipan-kutipan yang diambilnya dari karya sejumlah tokoh pemikir nasional maupun internasional, ahli mitologi, novelis, dan dari  beberapa sumber lainnya, menunjukkan kedalaman penulis dalam menganalisa suatu peristiwa. Sekaligus, menunjukkan ruang pikir alwy yang luas dan konsistensinya untuk setia pada peristiwa.
Persoalan menyangkut manusia dan kemanusiaan, “Manusia: Pantomim tanpa Misteri dan Idola” menjadi salah satu esai yang mewakili kegelisahan dosen  Jurusan Sastra Inggris ini. Ia menuturkan dalam esainya, bahwa manusia modern telah kehilangan kisahnya, sehingga menjadi manusia tanpa mitos. Suatu kenyataan yang kita rasakan, namun terkadang kita lupa untuk menyadarinya. Betapa tidak, sekarang fabel, legenda tentang suatu tempat dan tokoh, serta mitos sudah tergerus. Makna dan kebajikan redup, manusia tak lagi belajar dari hal itu.
Setebal 204 halaman,  isu-isu sosial diangkat dengan jeli dalam buku ini. Baik isu yang sedang booming, maupun isu-isu sosial yang kadang dianggap remeh-temeh.  Hal ini menunjukkan bahwa penulis memiliki kepekaan hati yang besar, terhadap segala hal yang sedang terjadi di lingkungannya.
Setiap tulisan pasti memiliki identitasnya. Yang menjadi ciri khas dalam karya ini adalah penggunaan bahasa asing, yang tidak dipadankan ke dalam Bahasa Indonesia. Misalnya saja kata scholar, psyche,cyber, dan beberapa kata lainnya. Mengapa tidak dipadankan?. Ini dikarenakan penulis menganggap bahwa kata-kata tersebut tidak ada padanan katanya dalam Bahasa Indonesia. Tak hanya identitas tulisan, identitas diri penulis kelahiran Makassar12 Mei 1954 ini, juga tercermin dalam kutipan puitika profetik Bugis masa lampau yang ia tambahkan ke dalam tulisannya.
Di akhir tiap esainya terdapat kesimpulan yang mengajak kita untuk berpikir dan menanyakan kembali pada diri kita. Jadi pembaca dituntut untuk mendekatkan pemahamannya terhadap apa yang ada di dalam esai. Selain itu, kumpulan esai ini punya niat dan punya manfaat secara sosial, karena pada umumnya menyentuh kepentingan banyak orang. Jarang ada buku seperti ini.
 Buku yang inspiratif ini, dapat dijadikan sebagai bacaan segar yang bisa dinikmati utamanya oleh kalangan penyuka isu-isu sosial dan mahasiswa yang gemar membaca. Bagi para penulis pemula, apalagi yang ingin membuat esai, buku ini dapat dijadikan sebagai referensi bacaan. Pemilihan diksinya yang tak biasa, bisa menambah perbendaharaan kata yang kita miliki.
Sayangnya, buku ini tidak cocok dibaca untuk kalangan muda dan  tidak semua orang mengerti dengan bahasa yang tinggi dan perbendaharaan katanya terkadang jarang kita gunakan. Sehingga, untuk orang awam yang baru pertama kali membacanya, harus berulang-ulang membaca untuk bisa paham isinya.
Terlepas dari semua itu, buku ini merupakan refleksi kemanusiaan, empati, dan passion. Pesan khusus yang ingin disampaikan penulis, utamanya kepada kaum muda saat ini agar hendaknya menghormati setiap peristiwa. Karena dibalik peristiwa yang terjadi, terdapat kebenaran yang hakiki. Kebenaran akan sulit dimengerti tanpa mengikuti peristiwanya. Kebenaran sembunyi dibalik lipatan-lipatan peristiwa. Maka, setialah pada peristiwa.
Riyami

Judul Buku                : Ruang Sadar Tak Berpagar
Penulis                        : Alwy Rachman
Penerbit                      : Nala Cipta Litera
Tebal                          : x+ 204 halaman; 14cmx21cm
Cetakan Pertama      : Juni 2015


Luka di Tanah Serambi Mekah


“Kemanusiaan— napas hidup dari cerita— tampil untuk mengingatkan praktik ketidakadilan dari relasi kuasa dan otoritas yang kerap menghamba pada teror dan senjata,” kira-kira seperti itu salah satu kalimat dari pengantar penerbit buku ini.
Disadari atau tidak, banyak karya-karya sastra yang lahir terilhami dari suatu tragedi kemanusiaan. Jika Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru. Maka, Azhari hadir dengan Perempuan Pala dan Serumpun Kisah di Negeri Bau dan Bunyi. Ya, buku kumpulan cerpen ini lahir ke pembaca dari tragedi kemanusiaan yang berlatar di Aceh. Isinya bukan mengenai aturan-aturan ketat “syariah Islam” yang belakangan ini sempat menghebohkan. Melainkan mengenai luka, penantian, penderitaan, kehilangan dan beberapa tentang kesedihan perempuan-perempuan Aceh di masa perang. Begitu mengharukan, namun terbaca upaya untuk menguatkan.
Terdiri dari 134 halaman, buku ini memuat 18 cerpen yang sebagian besar pernah terbit di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos dan Media Indonesia. Benar adanya bahwa 13 dari 18 kisah fiksi di buku ini, pernah  terbit dalam kumpulan cerpen berjudul Perempuan Pala (AKY Press, Juli 2004). Namun kali ini, Buku Mojok menerbitkannya dengan tambahan lima cerpen yang elegan dengan pengantar oleh Prof James T Siegel (Guru Besar Antropologi dan Studi Asia Tenggara Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat).
Di antara 18 cerpen yang dimuat, terdapat enam cerpen yang ditulis sangat pendek, yaitu: Demi Kegembiraan Para Diplomat, Ikan dari Langit, Pengunjung, Menggambar Pembunuh Bapak, Cermin Mao Tse-tung I, dan Memoar. Sangat mengesankan, walaupun dengan format yang sangat pendek tidak ada kekosongan yang nampak dalam cerita. Suatu pertaruhan eksperimentatif yang dimenangkan oleh penulis.
Kumpulan cerita pendek ini tak sepenuhnya fiksi. Tulisan-tulisan pria Aceh ini bagaikan serangkaian catatan yang teramat hidup. Struktur dan alur cerita dalam buku ini sederhana dan terang benderang.
“Air Raya,” adalah salah satu bagian kumpulan cerpen ini yang terbit beberapa bulan sebelum Tsunami menghantam Aceh. Di dalamnya berkisah tentang air bah yang menggulung sebuah kota. Dan seperti sebuah mimpi yang jadi nyata. Tsunami benar-benar melabrak wilayah Sang Cerpenis dan membuat ia kehilangan keluarganya.
Tak ada upaya pencanggihan cara bercerita maupun pendahsyatan gagasan cerita. Gagasan cerita yang wajar dan latar ceritanya adalah kekuatan utama yang membuat pembaca betah mengikuti, dan bisa “menyaksikan” peristiwa-peristiwa brutal dan mengharukan seakan langsung di hadapannya sendiri. Peristiwa menggugah rasa kemanusiaan terhadap rentetan peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Aceh beserta pergulatan batin masyarakatnya.
Jika ingin mengetahui keadaan Aceh pada masa itu. Di dalam buku ini, kita akan menemukan sisi lain Tanah Rencong ini. Dengan segala luka dan legendanya, serta  kenangan yang gagal dihapuskan.
Pria yang tergabung dalam Komunitas Tikar Pandan ini, bercerita sekaligus berkabar tentang tanah kelahirannya. Tak hanya menyuguhkan kisah-kisah konflik penuh kekerasan. Beberapa khazanah legenda Tanah Serambi Mekah pun berhasil diolahnya menjadi cerpen. Dan juga masih untuk bekisah tentang: luka. Ini tergambar dari dua cerpen dalam buku ini, “Perempuan Pala” dan “Pengunjung”.  
Dalam Perempuan Pala, peraih Free Word Award 2005 ini menjelajahi legenda naga dan lelaki tua. Sebuah cerita asal usul terjadinya Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Sedangkan pada cerpen Pengunjung, Azhari merujuk pada legenda Pengantin Batu, dari Aceh Tengah. Ia berhasil meramu hal yang bersifat lokal ke dalam karyanya, tradisi lisan Aceh.
Hal itu mengungkapkan sisi lain Ujung barat kepulauan Indonesia ini. Aceh bukan melulu konflik. Aceh memiliki sisi “kehidupan pribadi” sendiri, yang sudah terpelihara berabad-abad di tengah kecamuk penindasan dan ancaman aneka kekejaman yang menimpanya dalam waktu yang tak singkat.
Dalam kumpulan cerpen ini, sosok ibu atau bapak pun banyak ditempatkan dalam sebagian besar gagasan cerita. Nampaknya, ini dimaksudkan sebagai tanda wujud kekerabatan yang paling dekat dengan manusia untuk menjadi dewasa. Sebagai tempat dalam menggali dan menuai nilai kehidupan bersama masyarakat yang melahirkannya. Mereka adalah simbol pelindung, yang jika mereka tak ada akan banyak calon manusia dewasa kehilangan sumber daya untuk mengisi dan membentuk dirinya.
Cerita buku yang bersampul agak horor ini, mampu memberikan kepada kita gambaran menyentuh tentang tragedi yang banyak menimpa lelaki dewasa di Aceh. Baik yang terbunuh maupun hilang. Cerita-cerita tersebut secara samar mengatakan tentang hilangnya atau terputusnya tali antar generasi lewat cara yang sangat memilukan. Kesemuanya mampu memunculkan bibit dendam dan juga percik rindu, yang menoreh keperihan pada batin manusia sejak usia dini. Sebuah bom waktu yang siap meledak di hari kemudian.
Secara keseluruhan, buku ini adalah buku bacaan yang baik untuk orang-orang yang minat dengan isu-isu lokal terkait kemanusiaan. Terlepas dari beberapa kosakata Aceh yang agak membingungkan di dalamnya, diksi-diksi segarnya dapat menjadi referensi bacaan bagi para penulis pemula. Selamat Membaca!.

Riyami
Judul Buku: Perempuan Pala dan Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi
Penulis: Azhari
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: xviii + 134; 21cmx14cm

Cetakan Pertama: 2015 

Antara Kita dan Fenomena Alam

Kita semua tentu pernah mendengar mitos mengenai suatu tempat ataupun benda. Misalnya saja, kita akan mendapatkan sial jika menebang pohon di hutan adat. Kenyataannya, hal tersebut bisa saja terjadi. Namun, itu tak serta merta mampu menjadikan mitos sebagai alat untuk mencegah kerusakan, dalam hal ini alam. Ada hal yang perlu dipikirkan secara mendalam dari semua itu.
Pernahkah kita memikirkan lebih jauh mengenai kebenaran suatu mitos itu?. Bisa saja dalam contoh tersebut, seseorang mendapatkan kesialan bukan karena kekuatan gaib, sebagai penyebabnya. Melainkan, ada hal dalam dirinya yang mengalami ketidakseimbangan (disekuilibrium) atau akhirnya Si Penebang pohon itu tiba-tiba menyadari bahwa hal yang dilakukannya itu salah. Akibatnya, ia menyesal dan terus memikirkannya. Hingga perasaan itu berimbas pada semua hal yang dilakukannya, maka timbullah kesialan. Tapi sekali lagi, untuk mencapai sebuah kesimpulan kita butuh perenungan mendalam. Kira-kira seperti itulah salah satu pesan yang ingin disampaikan buku ini.
Bagian awal buku cukup menarik. Kisah masa kecil, sebuah penyesalan karena tak mampu menyelamatkan sebatang Pohon Ketapang yang benar-benar dialami penulis. Pengalaman itu kemudian menjadi titik tolak pemikirannya dalam membahas ekologi, yang  diluaskan melalui pandangannya terhadap fenomena yang terjadi kini.
Karya Saras Dewi ini, mengulas tentang hal yang mendasar dari pentingnya sebuah perenungan filosofis terhadap kerusakan alam yang sedang terjadi. Dosen Filsafat Universitas Indonesia ini ingin mengurai ketidakjelasan kontradiksi kepentingan manusia dalam konservasi alam, juga distingsi atau perbedaan masalah subjek dan objek dalam hubungan antara manusia dan alam.
Buku bergenre filsafat lingkungan hidup ini, memberikan analisis yang radikal terhadap relasi manusia dengan alam. Sebagai pembuktian bahwa perenungan filosofis penting dalam mengatasi masalah kontemporer, kerusakan alam. Karya setebal 172 halaman ini mencoba mematahkan anggapan, bahwa sains dengan semua kepraktisannya dapat memberikan solusi terhadap masalah lingkungan hidup saat ini.
Pelantun lagu Lembayung Bali ini menawarkan metode Ekofenomenologi sebagai alat pengupas disekuilibrium relasi manusia dan alam. Metode tersebut diulas melalui beberapa teori ekologi dan filsuf lingkungan, diantaranya yaitu: teori “Etika Tanah” Aldo Leopold, fenomenologi Edmund Husserl, relasi subjek-objek Merleau-Ponty, dan Konsep Heideggerian.
Dalam bukunya, Saras juga menilai bahwa etika lingkungan tidak sanggup mencapai akar permasalahan pokok. Bahkan kerap menyulitkan dalam menjelaskan kepentingan manusia  di dalam kesatuan hidup bersama alam. Pendekatan etika lingkungan masih terbentur pada tema aturan, kebiasaan, serta anggapan baik ataupun buruk menyangkut alam. Sedangkan pada metode ekofenomenologi (fenomenologi lingkungan), sudah menyentuh persoalan bagaimana memahami ekosistem sebagai fenomena, bukan objek yang terlepas dari subjek, tetapi fenomena yang mensyaratkan adanya intensionalitas relasi semua unsur di dalamnya.
Sebagai buku filsafat, buku ini cukup memberikan pemahaman yang utuh tentang tinjauan disekulibrium relasi manusia dengan alam. Suatu ‘ketidakharmonisan,’ yang terjadi karena manusia gagal memahami substansi hubungan dirinya dengan alam. Seperti penjelasan teori Martin Heiddegger, bahwa sebenarnya manusia tidak hanya hidup selintas lalu di dalam dunianya. Tetapi ia harus  menjadi ‘pemukim’ yang hidup harmonis dan damai dengan alam.
            Sayangnya, pada bagian pertengahan buku pembaca akan merasakan adanya pengambangan wacana. Barangkali pembahasan fenomenologi memang harus demikian adanya. Penjelasan mengenai teori subjek-objek pun terasa sangat panjang. Tepatnya, butuh waktu yang tidak sedikit untuk memahami isi buku ini.
            Di bagian penutup, kita akan disuguhkan semacam rangkuman dari seluruh ide yang ada pada buku. Namun kesannya, ide-ide itu hanya untuk menawarkan metode penelusuran akar dan titik temu masalah. Tidak terlalu menekankan sikap dalam solusi permasalahan ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam.
            Secara keseluruhan, dari penggunaan diksi yang cukup rumit nampaknya pembaca harus belajar untuk membuat glosarium sendiri. Agar bisa lebih memahami rangkaian kata yang ada. Terlepas dari kekurangannya, karya perempuan kelahiran 1983 silam ini menunjukkan riset yang mendalam. Terlihat dari pencantuman referensi yang ada pada daftar pustakanya.
            Pesan lain yang menarik dari Saras Dewi adalah: “bahwa peristiwa bukanlah kejadian biasa,  dan perjumpaan seorang manusia dengan alam adalah suatu peristiwa, sesuatu yang bermakna.” Selamat membaca!.
Riyami
Judul Buku    : Ekofenomenologi
Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Penulis            : Saras Dewi
Catakan         : I, Maret 2015
Tebal              : xiv + 172 halaman, 14 x 20,3 cm

Penerbit          : Marjin Kiri

Kamis, 15 Oktober 2015

Sungguh, Kau Tidak Pernah Tahu dengan Siapa Kau Akan Dipertemukan

(Sumber: https://tripuspitarini.files.wordpress.com/2012/01/kenalan.jpg)

Kita tak pernah tahu dengan siapa kita akan bertemu. Dan kita pun tak pernah tahu dalam keadaan seperti apa kita dipertemukan. Satu yang kupercayai, Tuhan telah menakdirkannya. Dia ingin makhluk-Nya memetik pelajaran hidup dari setiap pertemuan yang terjadi. Berawal dari sebuah pertemuan, aku rasanya harus untuk bertemu dengan lebih banyak orang lagi. Agar perspektifku tak sempit, agar aku dapat terus belajar, agar hasrat dalam batin terobati. Sebab, setiap pertemuan pasti meninggalkan kesan dan pesannya untuk kita telaah.

Sebelumnya, aku ingin meminta maaf pada Bapak dan Mamakku. Aku telah sengaja meninggalkan satu tanggungjawabku (red: bolos kuliah). Maafkan anakmu. Namun tenanglah, meskipun tak mengikuti kuliah di ruang kuliah, aku mendapatkan kuliah kehidupan yang amat berharga. Tak bisa diukur dengan SKS mata kuliah yang kutinggalkan tadi. Sebuah pengalaman langka dalam hidupku.

Sekali lagi, kita tak pernah tahu dengan siapa kita akan dipertemukan. Ini berawal dari chatting dengan seseorang yang telah kuanggap sebagai kakak sekaligus sahabatku (Kak Riri). Ya, mungkin memang sudah ditakdirkan Tuhan bahwa aku akan diminta menemaninya wawancara untuk sebuah program lomba jurnalistik. Yang membuatku sangat excited adalah sudut pandang yang ingin ditulis Kak Riri dan narasumbernya. Seorang ODHA (Orang Dengan HIV/AIDS), dan ia menikah dengan perempuan normal yang sehat dari virus itu hingga saat ini. In this case, i dunno the diferrence of “Love is Blind” or “The Power of Love”.

Hari ini (8/10), sekitar pukul 12.30 kami berangkat dengan sepeda motor ke Sekretariat Balla’ta. Sebuah rumah singgah bagi pecandu narkoba, yang kini ditempati mengabdi oleh sosok Kakak dengan inisial FS, narasumber kami. Sesampainya disana, kami pun mengetuk pintu dan mengatakan ada janji bertemu dengan Kak FS. Tak lama, orang yang ingin kami temui pun muncul dan mempersilakan masuk ke  kantornya itu. Sungguh, tak nampak sedikit pun bahwa dia sakit karena ada HIV dalam tubuhnya. Dia terlihat sehat dan bugar seperti orang biasanya. Rasanya hampir tak percaya.

Sebelum di wawancarai, pria berumur 30 tahun ini terlebih dahulu menguji pengetahuan kami terkait HIV/AIDS. Wah! saya beruntung dapat tambahan ilmu lagi melalui pertanyaan-pertanyaan yang diajukan Kak FS. Aku mengakui,  pengetahuanku terkait isu ini masih sangat kurang. But it’s my lucky time, Kak FS bukanlah orang yang pelit berbagi informasi. Ia cerita banyak sekali, mulai dari penyebab HIV/AIDS dan perkenalannya dengan obat terlarang, perbedaan HIV dengan AIDS, cara pencegahannya, diskriminasi dan stigma negatif yang diterima pengidap, serta pengalaman pribadinya sebagai pengidap yang sepanjang hidupnya nanti harus minum ARV (Anti Retroval) untuk bertahan hidup (usaha di luar kuasa Tuhan) hingga penawar HIV ditemukan.  Aku kagum luar biasa mendengarkan perjuangan hidup yang diceritakannya dengan pikiran terbuka.

Kembali ke maksud kami untuk menggali informasi terkait cerita cintanya dengan sang istri. Namun, sebelum itu ia ingin buat kesepakatan dengan Kak Riri, diantaranya: menggunakan inisial nama saja saat menulis kisahnya nanti dan tidak mempublikasikannya. Itu semua dilakukannya untuk menjaga privasi istrinya. Bukan tanpa alasan, keluarga sang istri hingga saat ini tak tahu kalau Kak FS positif (istilah untuk ODHA).  Sebuah rahasia yang harus dijaganya, entah sampai kapan.

Ketika anda menjadi seorang wanita, apakah anda bersedia menjadi seorang istri ODHA?. Pertanyaan yang berat untuk dijawab oleh wanita biasa, menurutku. Saya sendiri jika ditanya demikian, pasti akan berpikir seribu kali bahkan mungkin lebih dari itu, untuk menyatakan kesediaan. Namun beda dengan R, perempuan nomor dua terhebat dalam hidup FS setelah ibunya. Seorang yang telah menerimanya secara apa adanya. Menurutku, inilah takdir Tuhan yang tak dapat dielakkan. Sebuah cerita hidup dari-Nya yang tidak dapat dirubah oleh manusia.

Lanjut saja, Kak FS kemudian menceritakan awal pertemuannya dengan mantan pacarnya (red: istrinya)itu. Tahun 2009, inilah awal ia bertemu dengan R di sebuah toko perabotan rumah tangga, tempat mereka sama-sama bekerja.  Sering jumpa di kala istirahat makan siang menguatkan ketertarikan (cie elah chemistry) antara keduannya. Dan ujung-ujungnya, akhirnya mereka pacaran. Tahun 2010, setelah sekitar enam bulan menjalin hubungan itu, FS pun tak kuat jika harus menyembunyikan statusnya dari R. Saat itu, ia pun sekaligus berniat untuk menguji cinta gadis pujaannya.

Ia akhirnya memberanikan diri. Ditelponnya lah sang gadis pujaan. Dalam percakapan itu, lelaki berkumis tipis ini mulai menjelaskan bahwa dulu ia seorang pengguna narkoba. Dibumbui kepura-puraan, FS mengatakan akhir-akhir ini banyak teman-teman sepenggunanya meninggal, disebabkan sakit yang diduganya HIV. Ia pun menyampaikan niatnya untuk memeriksakan diri (padahal sejak 2007 ia sudah tahu mengidap HIV, hehe dan yang ini hanya periksa jumlah sel darah putih atau CD4). Sang istri kala itu langsung terdiam. “Bagaimana kalau saya positif? Apa tanggapanmu kepadaku?,” tanya FS. Sungguh seperti disayat hati ini mendengarnya. Namun, apa yang terjadi selanjutnya?. “Untuk responku terhadap hubungan ini selanjutnya, itu urusan nanti. Apa pun hasilnya, beritahu aku,” tegas si R. Sebuah jawaban yang diluar dugaanku.

Keesokan harinya, Kak FS menelpon kembali pujaan hatinya. Ia menyampaikan bahwa hasil tesnya positif. Seketika itu, belahan jiwanya ini diam dan menutup telepon. Tiga hari setelah pengakuan itu, tak ada sedikitpun kabar dari sang gadis. FS sudah menduga hal ini pasti akan terjadi. Walaupun kenyataannya pahit, setidaknya ia telah jujur. Ia yakin jika memang Tuhan menghendaki gadis itu bersanding dengannya, maka ia akan kembali padanya dan mencintainya sebagaimana adanya.

Tuhan dengan semua sifat Ar-Rahman dan Ar-Rahim-Nya punya cara tersendiri menyatukan makhluk-Nya. Pada hari ke-empat setelah pengakuan itu, R menyuruhnya untuk datang menemuinya. Kak FS pun datang ke rumahnya. Seketika itu, ia dipeluk oleh gadisnya. “Aku akan berusaha disisimu. Kalau pun kamu positif, sudah jalanku seperti ini untuk bersamamu. Tuhan sudah atur semuanya,” ujar sang gadis. Sejak saat itu, Kak FS yakin R adalah perempuan yang memang layak untuk ia perjuangkan.

Hubungan mereka pun terus berlanjut, dengan berbagai rasa kehidupan dan berbagi pengetahuan tentang HIV/AIDS. Namun tak ada hubungan yang kuat jika tak pernah putus. Mereka sempat kandas di tahun 2011, karena ada orang ketiga (mantan pacar R yang kembali). Tapi, walaupun gadis pujaan kembali dengan mantannya, ia tak putus asa dan tetap berjuang mendapatkan hati dewinya. Tentunya dengan bersaing secara sehat.

Betul saja, R kembali lagi padanya setelah melihat perjuangannya. Kemana pun raga melangkah, jika hati telah terpaut, maka yang pergi sementara pasti akan kembali lagi. Hubungan kembali membaik. Akhirnya di bulan Mei 2014, mereka melangsungkan pernikahan dengan berbagai konsekuensinya. Termasuk sulitnya mendapatkan buah hati, karena ia hanya bisa berhubungan aman tanpa pengaman jika jumlah CD4 nya diatas 500. Sebuah dilema yang ia hadapi ketika sang istri tercinta ingin segera menggendong momongan. Bahkan istrinya pernah bilang kalau memang untuk mendapatkan keturunan ia harus ditakdirkan Tuhan untuk menjadi positif, ia rela.

Pada November tahun lalu, ia telah mencoba sekali saat kondisi tubuhnya benar-benar baik. Namun Tuhan belum menghendaki mereka dikaruniai keturunan. Ia masih akan terus berusaha, agar seperti teman sesama ODHA-nya, yang telah dikaruniai dua anak yang sehat.

Tahukah kawan, aku telah penasaran melihat dan bertemu langsung dengan ODHA, sejak duduk mengikuti sosialisai Narkoba dan HIV/AIDS di waktu SMA (tahun 2010). Dalam bayanganku sudah tercetak gambaran bahwa tubuh mereka kurus, kerempeng, dan sakit-sakitan. Dan yang lebih jahat adalah stigma negatif yang sempat muncul di pikiranku waktu itu. Bahwa pengidapnya pasti pelaku amoral. Sunggguh jahatnya pikiranku. Namun pertemuan ini telah memberikanku banyak pelajaran hidup. Bahwa aku harus memandang apa yang ada di kehidupan ini melalui banyak perspektif, dan sedikit mungkin menghindari judge kepada orang lain. Bahwa aku harus bisa mematahkan stigma negatif yang selama ini tumbuh subur dalam alam pikiranku. Bahwa aku harus lebih menjaga kesehatanku. Bahwa aku harus lebih semangat dari mereka, dan bahwa mereka butuh dukungan dari kita.
Terima kasih untuk kuliah kehidupan yang berharga ini Kak FS. Semoga segera mendapatkan sang buah hati dambaan jiwa dan keluarga.

Sungguh, kau tidak pernah tahu dengan siapa kau akan dipertemukan....

Kamar Ramsis, 8 Oktober 2015



RIYAMI

Minggu, 27 September 2015

Sampah Pikiran

Untuk kawanku, dimanapun kalian berpijak hari ini. Andai saja jika ungkapan perasaan ini dapat menuai sebuah balas.

Kawan, pernahkah kalian merasakan seperti apa yang kurasakan?. Apa yang akan kalian lakukan saat mengalami sebuah kekosongan?. Kali ini sangat terasa sekali, rasa sakit itu. Meninggalkan selalu berpasangan dengan ditinggalkan. Begitu pula dengan perjumpaan yang selalu bergandengan dengan perpisahan. Itulah konsekuensi dari kausalitas, semua saling mempengaruhi. Sungguh memilukan. Keduanya bisa menimbulkan luka.

Aku tertegun, kembali mengingat-ingat sampah pikiran yang pernah muncul di kepalaku. Masih kuingat, aku pernah berpikir bagaimana rasanya meninggalkan dan ditinggalkan. Makin sering kupikirkan, hal itu akhirnya terjadi padaku. Dulu di masa SMA, aku selalu berpikir bagaimana rasanya jika sekolah dan hidup jauh dari orang tua. Dan hal ini terjadi, aku kuliah jauh dari bapak dan ibuku.

Setelah beberapa waktu aku kadang lupa ada mereka yang menantiku pulang. Yah, ini karena kami jarang berkomunikasi. Maklum saja, kami keluarga yang sangat hemat mengeluarkan uang untuk beli pulsa. Rupiah hanya cukup buat makan. Namun, ada satu masa sangat merindukan mereka, apa yang sedang mereka lakukan, sedang makan apa mereka, dan apakah mereka baik-baik saja?.

Khawatir, tentu pernah datang. Sebulan lalu, mereka mengabari bahwa mereka makan sagu atau pun ubi sebagai pengganti beras mereka yang habis. Di sini kadang aku makan enak dan lupa untuk bersyukur. Untuk itulah semenjak mendengar hal itu, aku selalu berusaha untuk menghabiskan makananku. Satu yang tertanam di benakku, jangan meninggalkan (membuang) makanan. Sebab jika engkau lakukan itu, entah kapan akan terjadi suatu saat dimana kau ditinggalkan oleh makanan. Hal ini sudah pernah kurasakan, kawanku.

Kembali ke pemikiran meninggalkan dan ditinggalkan, beberapa waktu lalu aku juga pernah memikirkan bagaimana rasanya jika teman kamar asrama sudah pindah. Dan malam ini, kutemukan jawabannya. Aku mengalami sebuah kekosongan, kehampaan. Kamar yang dulunya terasa sempit, kini lebih lapang. Barang-barang yang dulu ada di tempatnya, sekarang sudah lenyap dibawa pergi si empunya. Tak ada lagi teman bicara. Sunyi dan menyedihkan, ketika kenangan saat tinggal bersama menyeruak keluar dari memori pada saat yang bersamaan. Hanya bisa menitikkan air mata, untuk meluapkan emosi agar tak terbendung dan semakin menyakiti perasaan.

Kawan, aku tak ingin terus-terusan terjebak dalam sampah pikiran-pikiran macam ini. Sungguh, aku takut menjadi vektor atau pun terjangkit penyakit akibatnya. Memikirkannya saja sudah membuatku miris. Aku terlalu banyak membayangkan hal yang buruk terjadi padaku dan orang lain. Hingga aku sering merasa sumpek. Bagaimana caranya membuang pikiran-pikiran kotor dan jahat itu, kawan?. Aku hingga saat ini masih memikirkan caranya. Ya, aku lah yang harus mengendalikan pikiranku, bukan pikiran yang mengendalikanku.

Dalam proses meninggalkan dan ditinggalkan aku mulai belajar. Bahwa kedua hal itu memberikan hikmah bagiku. Aku masih harus terus belajar untuk menerima dan menghadapi kenyataan. Toh sekarang meninggalkan dan ditinggalkan, bagiku hanyalah perpindahan dan perbedaan tempat kita berpijak saja. Kita masih bisa menjalin sebuah hubungan baik.
Lega sudah menuliskan kecamuk yang menggerogoti hati dan pikiran.
Kini tinggallah rumah kenangan pikiran.



Ramsis, 27 September 2015, 22:07 wita


Ditulis saat mengenang kebersamaan dan menangisi ingatan (meninggalkan dan ditinggalkan)

Riyami

Sabtu, 29 Agustus 2015

Mimpiku yang Harus Dirawat


Oke, misi semester kali ini adalah move on dari semua pikiran dan beberapa hal yang mengganggu. Aku harus punya target yang berarti bagi hidupku dan orang lain. Berbuat lebih banyak, dan mengeluh sesedikit mungkin. Tidak boleh menyerah dulu sebelum mencoba. Hmmhh jadi teringat kalimat dari seorang kakak seniorku “sekali menyerah akan jadi kebiasaan”. Yah, semoga kali ini dan seterusnya aku bisa membuatnya nyata terjadi dalam hidupku. Dan harus berprasangka baik terhadap suatu hal.
Sebenarnya masalahku adalah sensitivitasku terhadap suatu hal sangatlah kurang. Aku kurang peka merasakan masalah atau kejanggalan yang terjadi di sekitarku. Aku tak bisa mengkritik maupun membuat pertanyaan pada hal kecil terkait ketimpangan tersebut. Apakah otakku sudah beku? Aku tak tahu,dan tak mau jika hal itu sampai terjadi. Aku ingin berbuat lebih untuk orang lain. Hanya perlu lebih percaya pada diri, aku pasti mampu. Karena itu, salah satu yang kuharapkan dapat meningkat pada diri ini adalah kepekaan terhadap apapun hal yang tengah terjadi. Dan mampu merumuskan masalah serta mencari solusinya. Aku harus berusaha menjadi peka. Harus rajin baca buku dan baca keadaan.
Mmm bagaimana dengan kerjasamaku dengan orang lain?. Ya, I have problem. Sulit diajak kerjasama, sulit berkomunikasi dengan orang lain, dan terlalu egois. Oke, yang harus kulakukan untuk hal ini yaitu membangun komunikasi yang baik dengan orang lain, dan mengurangi kadar ego sedikit demi sedikit. Aku juga harus mampu mengakrabkan dan mengadaptasikan diri dengan situasi apapun. Intinya belajar mengendalikan emosi.
Semester ini mungkin aku juga merasa kehilangan dan ditinggal oleh hiruk pikuk sebuah rumah kecil di tengah kampus. Kesetiaanku pada kehidupan di dalamnya tak sebanding dengan kontribusi yang bisa kuberikan. Yah, entah keputusanku benar atau salah, aku lebih memilih untuk pergi dari kehidupanku itu. Pada dasarnya, sekarang aku tengah mempersiapkan diri untuk menerima semua konsekuensi yang akan terjadi. Selain itu, aku juga harus tetap memikirkan untuk rencana hidupku di suatu rumah yang baru. Life must go on!. Tak boleh kalah dengan keadaan. Mungkin memang sudah saatnya, merasakan cerita hidup di tempat yang lain. Bagaimanapun, semua telah dan akan memberi pelajaran untukku. Seperti yang pernah kudengar, bahwa setiap tempat bisa jadi tempat untuk belajar. Satu yang kupercaya, sebagian kehidupan yang kumiliki juga punya cerita yang telah tertulis, dan saat ini mungkin saja aku sedang mengikuti jalan ceritanya. Namun, saat untukku menuliskan sendiri plot-nya pun juga punya waktunya sendiri.
Memasuki tahun ke 2 1/2 tahun kuliahku, mimpi-mimpiku harus terwujud. Aku bertekad mewujudkannya. Inilah yang harus kuwujudkan sekuat kemampuanku:
  • -          For the first time, karena masuk di jurusan ilmu tanah aku harus berkembang di himpunanku (HIMTI). Viva soil, soil solid!
  • -          And then, sudah lama aku ingin bergabung dengan organisasi ini รจ BK-PLAT. God love, earth love, people love!  Yeayy.... aku ingin berpetualang dan belajar dari perjalanan. Si Bolang dari Podomoro hahaha :D
  • -          Bisa lebih sering turun ke lapangan, lebih peka dan bisa memecahkan masalah terkait tanah. Intinya meneliti dan mengabdi kepada masyarakat.
  • -          Belajar bahasa ingrris dan belajar menulis juga hehe
  • -          Jalan-jalan ke kabupaten yang ada di Sul-sel


Cukup segitu dulu deh. Karena mimpi juga harus dirawat, semoga semua mimpi ini terawat dan I can make it comes true... aamiin ya Allah.
Ditulis saat mencari inspirasi untuk bangkit lagi
Ramsis, 29 Agustus 2015
Riyami

Jumat, 14 Agustus 2015

Mimpi

Mimpi

Oleh: Riyami


Seseorang lupa menggosok giginya sebelum tidur
Di dalam tidurnya ia bermimpi
Ada sikat gigi menggosok-gosok mulutnya supaya terbuka

Ketika ia bangun pagi hari
Sikat giginya tinggal sepotong
Sepotong yang hilang itu agaknya
Tersesat di dalam mimpinya dan tak bisa kembali

Dan ia berpendapat bahwa kejadian itu terlalu berlebih-lebihan
(Sajak Sikat Gigi Karya Yudhistira  A.N.M Massardi, 1974)
            Saya menulis ini bukan untuk mengkaji sajak. Karena pada dasarnya, saya tidak tahu banyak terkait karya sastra. Ini adalah keinginan untuk mengenang sakit gigi yang saya derita beberapa hari lalu. Saat itu, di sela kesakitan yang menyempitkan syaraf kebugaran, saya masih sempat untuk mengakses internet. Berharap memperoleh informasi untuk mengatasi rasa nyeri tak tertahankan yang mendera, sebelum ke dokter gigi.
            Alih-alih membuka tautan yang berisi tips atasi sakit gigi, saya malah membuka tautan yang memuat Sajak Sikat Gigi. Terkesan, itulah yang saya rasakan saat mulai membacanya. Bahasanya sungguh polos menurutku, langsung tanpa embel-embel riasan metafora dan kata-kata njlimet yang biasanya ditemui dalam puisi. Saya menyukainya.
Karya itu menyajikan komedi yang langsung menohok batinku. Seolah menyindirku yang kadang khilaf atau bisa dibilang kadang malas, sering melewatkan ritual menggosok gigi sebelum tidur. Dan kudapatlah ganjarannya, aku sakit gigi. Dan bukannya bermimpi tentang sikat gigi yang menggosok-gosok mulutku agar terbuka, seperti dalam sajak itu. Namun mimpiku lain, gigi belakangku berlubang dan nampak mengerikan, gigi itu tanggal dari gusiku. Mimpi buruk!.
Muncul banyak interpretasi setelah bangun dari mimpi itu. Aku menganggapnya terjadi akibat pengaruh kekhilafanku karena tak menyikat gigi ataupun karena sakit gigi yang tengah kuderita. Di sisi lain aku juga teringat cerita Ibuku, bahwa jika bermimpi ada gigi yang tanggal, maka itu pertanda ada anggota keluarga yang meninggal dunia.
Seperti dalam film Final Destination, mungkin mimpi juga bisa dikatakan sebagai bagian pertanda mekanisme pertahanan diri manusia dari bahaya. Dengan mimpi seseorang, orang lainnya diingatkan pada bahaya yang akan datang. Bisa dikaitkan juga ke dalam konteks spriritual, bahwa Yang Maha Kuasa memberikan mimpi kepada salah seorang makhluk-Nya, sebagai cara  untuk memberi peringatan maupun kabar gembira kepada yang lainnya.
Paparan lain muncul dari teori psikoanalisa, bahwa mimpi disebut sebagai wujud dari kehendak alam bawah sadar kita. Keinginan terpendam yang tak terwujud. Disebabkan faktor tertentu telah menghalangi seseorang untuk membuatnya jadi nyata. Jadilah, mimpi menjadi wadah pelampiasan dari keinginan terdalam sesorang yang tertunda. Akhirnya muncullah kesadaran untuk menafsirkankan makna dari peristiwa di alam mimpi. Sebagai upaya membandingkan pengalaman mimpi yang masih diingat dengan realitas yang memang kongkrit terjadi. Dimana kenyataan fiksional kadang harus dipertemukan dengan kenyataan faktual.
Lantas bisakah kita mengendalikan mimpi saat terlelap?. Jawabannya bisa, karena aku sendiri pernah mengalaminya. Fakta membenarkan, seseorang bisa mengendalikan mimpinya apabila ia berada pada kondisi lucid dream (mimpi yang jelas), yaitu keadaan ketika seseorang menyadari dirinya sedang bermimpi. Frederick van Eeden, seorang psikolog dan ilmuwan Belanda, menjadi orang pertama yang menggunakan istilah itu, melalui jurnalnya, “A Study of Dreams”, tahun 1913.
Ada rasa yang lain ketika kita dapat mengalami mimpi yang jelas, yang bisa kita kendalikan. Secara sadar kita bisa mengeksplorasinya. Namun, kenyataannya yang kualami tak seperti saat menonton film “Inception”, besutan sutradara Christoper Nolan. Dimana aktor Leonardo D’Caprio dan kelompoknya, dalam film tersebut mampu mengendalikan mimpi yang terhubung satu sama lain. Mereka mampu mengorek informasi penting dari lawan mereka atau mempengaruhi orang untuk mengambil keputusan penting. Mimpi mereka pun berlapis-lapis, artinya ada tingkatan kedalaman mimpi atau tingkat keterlelapan. Aku hanya bisa membayangkan, akan seperti apa jadinya jika mimpi para pembuat kebijakan negara bisa dikendalikan ke arah mimpi-mimpi idealis bangsa ini.
Entahlah, aku sendiri masih bingung, apakah benar mimpi mozaik-mozaik pengalaman di kenyataan yang masih terbawa dalam tidur kita. Ataukah mimpi melulu firasat, yang akhirnya memberikan tanda-tanda informasi akan adanya suatu kejadian kepada seseorang. Bagiku semuanya punya probabilitas.
Bias pikiran akibat alam khayal atau alam mimpi masih banyak melekat dalam kehidupan sehari-hari. Kita dituntut harus mampu membedakan apa saja yang bisa disepadankan dengan kenyataan yang terjadi, dan apa saja yang bertentangan dengan fakta yang ada. Semua hanya agar kita tak terjerumus dalam suatu persepsi yang berlebih-lebihan, “lebayistis” dalam menafsirkan mimpi.
Penulis adalah Mahasiswa Jurusan Ilmu Tanah
Angkatan 2013, Fakultas Pertanian Unhas
Jumat, 14/08/15