Minggu, 10 Januari 2016

Setialah Pada Peristiwa


Setelah beberapa tulisan esainya dimuat dalam kumpulan literasi Tempo Makassar dalam buku “Esai Tanpa Pagar”, kali ini Alwy Rachman menyatukan esai-esai pilihannya menjadi sebuah buku “Ruang Sadar Tak Berpagar”. Dalam buku ini, terdapat enam ilustrasi yang mengelompokkan tema utama esai. Keenam ilustrasi itu, mengingatkan pembaca akan banyaknya topik peristiwa yang ditulis. Namun, pembaca tetap diberi ruang bebas untuk mengelompokkan sesuai dengan pemahaman pembaca.
Ilustrasi satu mengelompokkan esai dengan tema utama menyangkut manusia dan nilai kemanusiaan. Ilustrasi dua, menggambarkan esai dengan tema sejumlah aliran pemikiran tokoh penting, seperti Nelson Mandela, Gus Dur, George Orwell, dan beberapa lainnya. Ilustrasi tiga, berisi esai dengan tema utama tentang politik. Ilustrasi empat, menggambarkan  esai dengan tema isu-isu pendidikan. Ilustrasi lima, berisi esai dengan tema tragedi dan tindak kekerasan. Terakhir, ilustrasi enam berisi esai dengan tema keadilan, bahasa, sastra, serta agama.
Sebagaimana karakter literasi, hal-hal serius yang sedang banyak dibicarakan, atau pun yang kadang kita lewatkan dan dianggap sepele dituliskan secara mendalam dan tajam oleh Dosen Fakultas Sastra Unhas ini. Secara rendah hati dan menginspirasi, kemikroan sudut pandangnya terhadap suatu peristiwa, tidak menjadi representasi kesempitan berpikir. Melainkan berubah menjadi jalan untuk menuju kedalaman dan ketajaman dalam berpikir.
Dari pengalaman dan pengamatan yang disaksikannya di masyarakat, ia meramu tulisannya dengan teori filsuf dan referensi bacaannya. Kutipan-kutipan yang diambilnya dari karya sejumlah tokoh pemikir nasional maupun internasional, ahli mitologi, novelis, dan dari  beberapa sumber lainnya, menunjukkan kedalaman penulis dalam menganalisa suatu peristiwa. Sekaligus, menunjukkan ruang pikir alwy yang luas dan konsistensinya untuk setia pada peristiwa.
Persoalan menyangkut manusia dan kemanusiaan, “Manusia: Pantomim tanpa Misteri dan Idola” menjadi salah satu esai yang mewakili kegelisahan dosen  Jurusan Sastra Inggris ini. Ia menuturkan dalam esainya, bahwa manusia modern telah kehilangan kisahnya, sehingga menjadi manusia tanpa mitos. Suatu kenyataan yang kita rasakan, namun terkadang kita lupa untuk menyadarinya. Betapa tidak, sekarang fabel, legenda tentang suatu tempat dan tokoh, serta mitos sudah tergerus. Makna dan kebajikan redup, manusia tak lagi belajar dari hal itu.
Setebal 204 halaman,  isu-isu sosial diangkat dengan jeli dalam buku ini. Baik isu yang sedang booming, maupun isu-isu sosial yang kadang dianggap remeh-temeh.  Hal ini menunjukkan bahwa penulis memiliki kepekaan hati yang besar, terhadap segala hal yang sedang terjadi di lingkungannya.
Setiap tulisan pasti memiliki identitasnya. Yang menjadi ciri khas dalam karya ini adalah penggunaan bahasa asing, yang tidak dipadankan ke dalam Bahasa Indonesia. Misalnya saja kata scholar, psyche,cyber, dan beberapa kata lainnya. Mengapa tidak dipadankan?. Ini dikarenakan penulis menganggap bahwa kata-kata tersebut tidak ada padanan katanya dalam Bahasa Indonesia. Tak hanya identitas tulisan, identitas diri penulis kelahiran Makassar12 Mei 1954 ini, juga tercermin dalam kutipan puitika profetik Bugis masa lampau yang ia tambahkan ke dalam tulisannya.
Di akhir tiap esainya terdapat kesimpulan yang mengajak kita untuk berpikir dan menanyakan kembali pada diri kita. Jadi pembaca dituntut untuk mendekatkan pemahamannya terhadap apa yang ada di dalam esai. Selain itu, kumpulan esai ini punya niat dan punya manfaat secara sosial, karena pada umumnya menyentuh kepentingan banyak orang. Jarang ada buku seperti ini.
 Buku yang inspiratif ini, dapat dijadikan sebagai bacaan segar yang bisa dinikmati utamanya oleh kalangan penyuka isu-isu sosial dan mahasiswa yang gemar membaca. Bagi para penulis pemula, apalagi yang ingin membuat esai, buku ini dapat dijadikan sebagai referensi bacaan. Pemilihan diksinya yang tak biasa, bisa menambah perbendaharaan kata yang kita miliki.
Sayangnya, buku ini tidak cocok dibaca untuk kalangan muda dan  tidak semua orang mengerti dengan bahasa yang tinggi dan perbendaharaan katanya terkadang jarang kita gunakan. Sehingga, untuk orang awam yang baru pertama kali membacanya, harus berulang-ulang membaca untuk bisa paham isinya.
Terlepas dari semua itu, buku ini merupakan refleksi kemanusiaan, empati, dan passion. Pesan khusus yang ingin disampaikan penulis, utamanya kepada kaum muda saat ini agar hendaknya menghormati setiap peristiwa. Karena dibalik peristiwa yang terjadi, terdapat kebenaran yang hakiki. Kebenaran akan sulit dimengerti tanpa mengikuti peristiwanya. Kebenaran sembunyi dibalik lipatan-lipatan peristiwa. Maka, setialah pada peristiwa.
Riyami

Judul Buku                : Ruang Sadar Tak Berpagar
Penulis                        : Alwy Rachman
Penerbit                      : Nala Cipta Litera
Tebal                          : x+ 204 halaman; 14cmx21cm
Cetakan Pertama      : Juni 2015


Luka di Tanah Serambi Mekah


“Kemanusiaan— napas hidup dari cerita— tampil untuk mengingatkan praktik ketidakadilan dari relasi kuasa dan otoritas yang kerap menghamba pada teror dan senjata,” kira-kira seperti itu salah satu kalimat dari pengantar penerbit buku ini.
Disadari atau tidak, banyak karya-karya sastra yang lahir terilhami dari suatu tragedi kemanusiaan. Jika Pramoedya Ananta Toer dengan Tetralogi Pulau Buru. Maka, Azhari hadir dengan Perempuan Pala dan Serumpun Kisah di Negeri Bau dan Bunyi. Ya, buku kumpulan cerpen ini lahir ke pembaca dari tragedi kemanusiaan yang berlatar di Aceh. Isinya bukan mengenai aturan-aturan ketat “syariah Islam” yang belakangan ini sempat menghebohkan. Melainkan mengenai luka, penantian, penderitaan, kehilangan dan beberapa tentang kesedihan perempuan-perempuan Aceh di masa perang. Begitu mengharukan, namun terbaca upaya untuk menguatkan.
Terdiri dari 134 halaman, buku ini memuat 18 cerpen yang sebagian besar pernah terbit di Koran Tempo, Kompas, Jawa Pos dan Media Indonesia. Benar adanya bahwa 13 dari 18 kisah fiksi di buku ini, pernah  terbit dalam kumpulan cerpen berjudul Perempuan Pala (AKY Press, Juli 2004). Namun kali ini, Buku Mojok menerbitkannya dengan tambahan lima cerpen yang elegan dengan pengantar oleh Prof James T Siegel (Guru Besar Antropologi dan Studi Asia Tenggara Universitas Cornell, Ithaca, Amerika Serikat).
Di antara 18 cerpen yang dimuat, terdapat enam cerpen yang ditulis sangat pendek, yaitu: Demi Kegembiraan Para Diplomat, Ikan dari Langit, Pengunjung, Menggambar Pembunuh Bapak, Cermin Mao Tse-tung I, dan Memoar. Sangat mengesankan, walaupun dengan format yang sangat pendek tidak ada kekosongan yang nampak dalam cerita. Suatu pertaruhan eksperimentatif yang dimenangkan oleh penulis.
Kumpulan cerita pendek ini tak sepenuhnya fiksi. Tulisan-tulisan pria Aceh ini bagaikan serangkaian catatan yang teramat hidup. Struktur dan alur cerita dalam buku ini sederhana dan terang benderang.
“Air Raya,” adalah salah satu bagian kumpulan cerpen ini yang terbit beberapa bulan sebelum Tsunami menghantam Aceh. Di dalamnya berkisah tentang air bah yang menggulung sebuah kota. Dan seperti sebuah mimpi yang jadi nyata. Tsunami benar-benar melabrak wilayah Sang Cerpenis dan membuat ia kehilangan keluarganya.
Tak ada upaya pencanggihan cara bercerita maupun pendahsyatan gagasan cerita. Gagasan cerita yang wajar dan latar ceritanya adalah kekuatan utama yang membuat pembaca betah mengikuti, dan bisa “menyaksikan” peristiwa-peristiwa brutal dan mengharukan seakan langsung di hadapannya sendiri. Peristiwa menggugah rasa kemanusiaan terhadap rentetan peristiwa tragedi kemanusiaan yang terjadi di Aceh beserta pergulatan batin masyarakatnya.
Jika ingin mengetahui keadaan Aceh pada masa itu. Di dalam buku ini, kita akan menemukan sisi lain Tanah Rencong ini. Dengan segala luka dan legendanya, serta  kenangan yang gagal dihapuskan.
Pria yang tergabung dalam Komunitas Tikar Pandan ini, bercerita sekaligus berkabar tentang tanah kelahirannya. Tak hanya menyuguhkan kisah-kisah konflik penuh kekerasan. Beberapa khazanah legenda Tanah Serambi Mekah pun berhasil diolahnya menjadi cerpen. Dan juga masih untuk bekisah tentang: luka. Ini tergambar dari dua cerpen dalam buku ini, “Perempuan Pala” dan “Pengunjung”.  
Dalam Perempuan Pala, peraih Free Word Award 2005 ini menjelajahi legenda naga dan lelaki tua. Sebuah cerita asal usul terjadinya Tapaktuan, ibukota Kabupaten Aceh Selatan. Sedangkan pada cerpen Pengunjung, Azhari merujuk pada legenda Pengantin Batu, dari Aceh Tengah. Ia berhasil meramu hal yang bersifat lokal ke dalam karyanya, tradisi lisan Aceh.
Hal itu mengungkapkan sisi lain Ujung barat kepulauan Indonesia ini. Aceh bukan melulu konflik. Aceh memiliki sisi “kehidupan pribadi” sendiri, yang sudah terpelihara berabad-abad di tengah kecamuk penindasan dan ancaman aneka kekejaman yang menimpanya dalam waktu yang tak singkat.
Dalam kumpulan cerpen ini, sosok ibu atau bapak pun banyak ditempatkan dalam sebagian besar gagasan cerita. Nampaknya, ini dimaksudkan sebagai tanda wujud kekerabatan yang paling dekat dengan manusia untuk menjadi dewasa. Sebagai tempat dalam menggali dan menuai nilai kehidupan bersama masyarakat yang melahirkannya. Mereka adalah simbol pelindung, yang jika mereka tak ada akan banyak calon manusia dewasa kehilangan sumber daya untuk mengisi dan membentuk dirinya.
Cerita buku yang bersampul agak horor ini, mampu memberikan kepada kita gambaran menyentuh tentang tragedi yang banyak menimpa lelaki dewasa di Aceh. Baik yang terbunuh maupun hilang. Cerita-cerita tersebut secara samar mengatakan tentang hilangnya atau terputusnya tali antar generasi lewat cara yang sangat memilukan. Kesemuanya mampu memunculkan bibit dendam dan juga percik rindu, yang menoreh keperihan pada batin manusia sejak usia dini. Sebuah bom waktu yang siap meledak di hari kemudian.
Secara keseluruhan, buku ini adalah buku bacaan yang baik untuk orang-orang yang minat dengan isu-isu lokal terkait kemanusiaan. Terlepas dari beberapa kosakata Aceh yang agak membingungkan di dalamnya, diksi-diksi segarnya dapat menjadi referensi bacaan bagi para penulis pemula. Selamat Membaca!.

Riyami
Judul Buku: Perempuan Pala dan Serumpun Kisah Lain dari Negeri Bau dan Bunyi
Penulis: Azhari
Penerbit: Buku Mojok
Tebal: xviii + 134; 21cmx14cm

Cetakan Pertama: 2015 

Antara Kita dan Fenomena Alam

Kita semua tentu pernah mendengar mitos mengenai suatu tempat ataupun benda. Misalnya saja, kita akan mendapatkan sial jika menebang pohon di hutan adat. Kenyataannya, hal tersebut bisa saja terjadi. Namun, itu tak serta merta mampu menjadikan mitos sebagai alat untuk mencegah kerusakan, dalam hal ini alam. Ada hal yang perlu dipikirkan secara mendalam dari semua itu.
Pernahkah kita memikirkan lebih jauh mengenai kebenaran suatu mitos itu?. Bisa saja dalam contoh tersebut, seseorang mendapatkan kesialan bukan karena kekuatan gaib, sebagai penyebabnya. Melainkan, ada hal dalam dirinya yang mengalami ketidakseimbangan (disekuilibrium) atau akhirnya Si Penebang pohon itu tiba-tiba menyadari bahwa hal yang dilakukannya itu salah. Akibatnya, ia menyesal dan terus memikirkannya. Hingga perasaan itu berimbas pada semua hal yang dilakukannya, maka timbullah kesialan. Tapi sekali lagi, untuk mencapai sebuah kesimpulan kita butuh perenungan mendalam. Kira-kira seperti itulah salah satu pesan yang ingin disampaikan buku ini.
Bagian awal buku cukup menarik. Kisah masa kecil, sebuah penyesalan karena tak mampu menyelamatkan sebatang Pohon Ketapang yang benar-benar dialami penulis. Pengalaman itu kemudian menjadi titik tolak pemikirannya dalam membahas ekologi, yang  diluaskan melalui pandangannya terhadap fenomena yang terjadi kini.
Karya Saras Dewi ini, mengulas tentang hal yang mendasar dari pentingnya sebuah perenungan filosofis terhadap kerusakan alam yang sedang terjadi. Dosen Filsafat Universitas Indonesia ini ingin mengurai ketidakjelasan kontradiksi kepentingan manusia dalam konservasi alam, juga distingsi atau perbedaan masalah subjek dan objek dalam hubungan antara manusia dan alam.
Buku bergenre filsafat lingkungan hidup ini, memberikan analisis yang radikal terhadap relasi manusia dengan alam. Sebagai pembuktian bahwa perenungan filosofis penting dalam mengatasi masalah kontemporer, kerusakan alam. Karya setebal 172 halaman ini mencoba mematahkan anggapan, bahwa sains dengan semua kepraktisannya dapat memberikan solusi terhadap masalah lingkungan hidup saat ini.
Pelantun lagu Lembayung Bali ini menawarkan metode Ekofenomenologi sebagai alat pengupas disekuilibrium relasi manusia dan alam. Metode tersebut diulas melalui beberapa teori ekologi dan filsuf lingkungan, diantaranya yaitu: teori “Etika Tanah” Aldo Leopold, fenomenologi Edmund Husserl, relasi subjek-objek Merleau-Ponty, dan Konsep Heideggerian.
Dalam bukunya, Saras juga menilai bahwa etika lingkungan tidak sanggup mencapai akar permasalahan pokok. Bahkan kerap menyulitkan dalam menjelaskan kepentingan manusia  di dalam kesatuan hidup bersama alam. Pendekatan etika lingkungan masih terbentur pada tema aturan, kebiasaan, serta anggapan baik ataupun buruk menyangkut alam. Sedangkan pada metode ekofenomenologi (fenomenologi lingkungan), sudah menyentuh persoalan bagaimana memahami ekosistem sebagai fenomena, bukan objek yang terlepas dari subjek, tetapi fenomena yang mensyaratkan adanya intensionalitas relasi semua unsur di dalamnya.
Sebagai buku filsafat, buku ini cukup memberikan pemahaman yang utuh tentang tinjauan disekulibrium relasi manusia dengan alam. Suatu ‘ketidakharmonisan,’ yang terjadi karena manusia gagal memahami substansi hubungan dirinya dengan alam. Seperti penjelasan teori Martin Heiddegger, bahwa sebenarnya manusia tidak hanya hidup selintas lalu di dalam dunianya. Tetapi ia harus  menjadi ‘pemukim’ yang hidup harmonis dan damai dengan alam.
            Sayangnya, pada bagian pertengahan buku pembaca akan merasakan adanya pengambangan wacana. Barangkali pembahasan fenomenologi memang harus demikian adanya. Penjelasan mengenai teori subjek-objek pun terasa sangat panjang. Tepatnya, butuh waktu yang tidak sedikit untuk memahami isi buku ini.
            Di bagian penutup, kita akan disuguhkan semacam rangkuman dari seluruh ide yang ada pada buku. Namun kesannya, ide-ide itu hanya untuk menawarkan metode penelusuran akar dan titik temu masalah. Tidak terlalu menekankan sikap dalam solusi permasalahan ketidakseimbangan hubungan manusia dengan alam.
            Secara keseluruhan, dari penggunaan diksi yang cukup rumit nampaknya pembaca harus belajar untuk membuat glosarium sendiri. Agar bisa lebih memahami rangkaian kata yang ada. Terlepas dari kekurangannya, karya perempuan kelahiran 1983 silam ini menunjukkan riset yang mendalam. Terlihat dari pencantuman referensi yang ada pada daftar pustakanya.
            Pesan lain yang menarik dari Saras Dewi adalah: “bahwa peristiwa bukanlah kejadian biasa,  dan perjumpaan seorang manusia dengan alam adalah suatu peristiwa, sesuatu yang bermakna.” Selamat membaca!.
Riyami
Judul Buku    : Ekofenomenologi
Mengurai Disekuilibrium Relasi Manusia dengan Alam
Penulis            : Saras Dewi
Catakan         : I, Maret 2015
Tebal              : xiv + 172 halaman, 14 x 20,3 cm

Penerbit          : Marjin Kiri